Sumatratimes.com — PT Timah (persero) tbk bebetapa tahun ini mengoperasikan kapal isap timah, di perairan Karimun, Kepulauan Riau.
Celakanya kawasan konsensus kapal ‘keruk’ timah tersebut, berada di perairan tangkap perikanan nelayan tradisonal masyarakat Karimun. Limbah buangan kapal timah itu merusak biota laut, sehingga menurunkan pendapatan nelayan, dan menimbulkan kemiskinan. Nelayan pun menuntut kompensasi kepada PT Timah.
Dikutip dari beritakarimun.com, Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Karimun Ady Hermawan membeberkan bahwa pihak PT Timah tidak sanggup mengikuti permintaan kelompok nelayan.
“Pihak nelayan mengusulkan kepada pihak PT Timah agar dapat menggantikan sarana dan prasarana yang lebih besar yaitu pompong 3 GT full fiber dengan mesin yang bermerek Yanmar 16 PK, lengkap dengan alat tangkap berupa jaring tenggiri 50 utas yang berukuran 3,5 inci per unit per nelayan,” ungkap Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Karimun Ady Hermawan.
Ady mengatakan bahwa pihak PT Timah tidak sanggup mengindahkan kemauan dari pihak nelayan, terlebih ada ratusan nelayan yang harus ditanggungi
“Secara prinsip permintaan dari masyarakat nelayan tersebut sangat berat bagi PT Timah, dalam hal ini PT Timah hanya berikan berupa CSR, karena ketentuan dari BUMN tak benarkan dalam berupa uang, hanya bisa dalam bentuk rumah layak huni, mssjid, kesehatan, dan olahraga,” jelas Ady.
Kata Ady, pihak PT Timah akan berikan kompensasi sesuai dengan kompensasi yang diberikan kepada 22 KUB yang dinaungi oleh Nelayan Terpadu Kabupaten Karimun (NTKK)
“PT Timah akan berikan kompensasi sesuai dengan yang diberikan terhadap 22 KUB yang dinaungi NTKK, kelompok nelayan yang akan menerima tersebut adalah kelompok nelayan yang berada di ring 1 yang artinya berada di Kecamatan Tebing dan sekitarnya,” tutur Ady.
Kompensasi yang diberikan oleh mitra Timah kepada nelayan dibawah naungan NTKK yakni sebesar Rp 720.000 untuk 227 nelayan dari 22 Kelompok Usaha Bersama (KUB). Namun dalam hal ini Ady mengatakan bahwa pihak Mitra Timah bertoleransi akan memberikan perolehan jumlah produksi timah yang akan dikalikan Rp 2.500 per kilogram timah yang didapatkan.
“Toleransi mitra Timah juga akan berikan perolehan jumlah produksi, seberapa besar jumlah produksi dikalikan Rp 2.500 , kalau misalnya produksi dari 6 kapal keruk tersebut ada sekitar 100 ton berarti dikalikan per kilonya Rp 2.500 itulah hak nelayan. Disamping itu, PT Timah akan berikan tenaga kerja , masalah bongkar muat dan segala macam lainnya,” pungkas Ady.
Operasional penambangan timah di Kepri bukan kali ini saja bermasalah. Di Karimun dan Dabosingkep, Lingga, PT Timah juga meninggalkan bekas galian timah berupa kolam-kolam atau kelong yang mencapai ratusan kelong. Sampai saat ini bekas galian timah dari zaman kompeni masih dapat dilihat.
Dampak lingkungan diebabkan lumpur tanah yang dialirkan ke laut menjadian kerusakan pada perairan laut, terumbu karang, dan pantai. Sumber penghasilan masyarakat setempat rusak dan memunculkan kemiskinan pada masyarakat nelayan. ***
Redaksi : Amran