Jakarta- Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 6 (enam) permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Berdasarkan siaran pers Nomor: PR – 1693/138/K.3/Kph.3/10/2022 yang di sampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung Dr. Ketut Sumedana SH.,MH., kepada awak media Selasa (25/10/2022).
Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, S.H. M.H., Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat T.P. Oharda.
Adapun 6 (enam) berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif yaitu:
Tersangka HANS MNSEN dari Kejaksaan Negeri Nabire yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka MARSELUS JENISKAN NINGGAN dari Kejaksaan Negeri Merauke yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka MIRNA SULISTIAWATY dari Kejaksaan Negeri Ende yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka WINDA DEWANTI dari Kejaksaan Negeri Ende yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka RIKMAN RAHIM dari Kejaksaan Negeri Ambon yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka KHAS YAMIN WALLY dari Kejaksaan Negeri Ambon yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Hen)