Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 19 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif. Rabu (21/8/2024)
Dalam keterangan pers, Kapuspenkum Kejagung Dr Harli Siregar menyampaikan ke media ini, adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Rio Fitrah alias Rio dari Kejaksaan Negeri Palu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kronologi bermula saat Tersangka Rio Fitrah alias Rio pada hari Sabtu tanggal 01 Juni 2024 sekitar pukul 17.000 wita di Jl. Beringin Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Tatanga, Kota Palu telah melakukan tindak pidana Penganiayaan terhadap saksi korban Fitriani yang merupakan istri siri nya.
Berawal dari pertengkaran antara tersangka dan saksi korban perihal masalah rumah tangga, kemudian tersangka marah dan emosi sehingga mencekik leher saksi korban, memukul pelipis mata kanan sebanyak 2 (dua) kali, dan pelipis mata kiri sebanyak 1 (satu) kali dengan tangan kanan terkepal, serta menendang saksi korban pada bagian lengan kiri sebanyak 2 (dua) kali, serta menggigit tangan kanan saksi korban sampai luka dan berdarah.
Akibat perbuatan Tersangka Rio Fitrah alias Rio, saksi korban Fitriani mengalami luka lebam pada wajah dan lengan kiri yang diduga diakibatkan adanya trauma tumpul serta ditemukan luka yang mengering berbentuk bekas gigitan dipunggung tangan kanan sebagaimana surat Visum Et Repertum Nomor: 027/RS-SMRT/VER/VI-2024 tanggal 05 Juni 2024 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Yulianti Rauf pada Rumah Sakit Samaritan Palu.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Palu Muhammad Irwan Datuiding, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Inti Astutik, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Desianty, S.H. dan Arviany, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Palu mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Dr. Bambang Hariyanto, S.H., M.Hum. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 18 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
2. Tersangka Heflin alias Efen dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam.
3. Tersangka Mohammad Adi alias Adi dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
4. Tersangka Rifaldy alias Aco dari Cabang Kejaksaan Negeri Donggala di Tompe, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-4 Subsidair Pasal 53 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
5. Tersangka Amar alias Farel dari Cabang Kejaksaan Negeri Donggala di Tompe, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
6. Tersangka Fabiano Syehyoza Anggara alias Yoza bin Darmawan dari Kejaksaan Negeri Rejang Lebong, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka Paryono Alias Par bin Rejo Menawi (Alm) dari Kejaksaan Negeri Rejang Lebong, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
8. Tersangka Sumarni alias Sum binti Ali Ace (Alm) dari Kejaksaan Negeri Rejong Lebong, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
9. Tersangka Bayu Aji Saputra bin Masril Azhari dari Kejaksaan Negeri Seluma, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) atau Ayat (4) Jo pasal 5 Huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10. Tersangka Kurniawan Ahli Usman Agusta alias Gusteng bin Rigus dari Kejaksaan Negeri Kepahiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
11. Tersangka Hamzah Pgl Hamzah bin Alm M. Diah dari Kejaksaan Negeri Dharmasraya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) dan Ayat (4) KUHP tentang Penganiayaan.
12. Tersangka Ridwan M. Hasan bin Alm M. Hasan dari Kejaksaan Negeri Bireuen, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
13. Tersangka Helmy Lodevinus Wally alias Joko dari Kejaksaan Negeri Manokwari, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
14. Tersangka Demianus Piterson Kehek dari Kejaksaan Negeri Sorong, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
15. Tersangka Suherman alias Emong bin Indep dari Kejaksaan Negeri Lombok Timur, yang disangka melanggar Kesatu Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan atau Kedua Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
16. Tersangka Riyono alias Gemok bin Zaenal Abidindari Kejaksaan Negeri Lombok Timur, yang disangka melanggar Kesatu Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan atau Kedua Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.
17. Tersangka Sunaimi dari Kejaksaan Negeri Bima, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
18. Tersangka Nurmi dari Kejaksaan Negeri Bima, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
19. Tersangka Hendra bin Anto dari Kejaksaan Negeri Gunung Mas, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (redaksi)