Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 10 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) Rabu (25/9/ 2024)
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Ahmad Alfaqih dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Terkait penyelesaian melalui Restorative Justice, Kapuspenkum Kejagung Dr. Harli Siregar menjelaskan Kronologi bermula pada hari Selasa 16 Juli 2024, Tersangka Ahmad Afaqih pergi menggunakan sepeda motor ke rumah temannya untuk meminjam uang yang akan digunakan untuk mebiayai perjalanan istrinya dari kampung ke Jakarta, namun Tersangka Ahmad Alfaqih tidak berhasil memperoleh pinjaman sehingga tersangka pulang ke rumah.
Lalu sekira pukul 09.10 wib, Tersangka Ahmad Alfaqih melintas di depan gapura RT yang berlamat di JaIan. Cempaka Putih Timur 17 RT. 002/003, Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, lalu Tersangka Ahmad Alfaqih melihat saksi Sutarsih sedang berdiri di pinggir jalan sambil memainkan 1 (satu) unit handphone merk Samsung type A14 warna silver sehingga timbul niat Tersangka untuk mengambil handphone tersebut.
Kemudian dengan menggunakan tangan kiri, Tersangka langsung mengambil handphone dan membawa pergi handphone tersebut dengan mengendarai sepeda motor. Namun dikarenakan hilang kendali tersangka terjatuh dari sepeda motor. Kemudian Tersangka langsung berlari menghampiri korban untuk mengembalikan handphone lalu meminta maaf kepada korban Sutarsih.
Setelah itu Tersangka Ahmad Alfaqih diamankan oleh warga dan dibawa ke kantor Lepolisian untuk diproses lebih lanjut. Akibat kejadian itu, saksi SUTARSIH berpotensi mengalami kerugian sebesar kurang lebih Rp.2.600.000 (dua juta enam ratus rupiah).
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Dr. Safrianto Zuriat Putra, S.H., M,H. bersama Kasi Pidum Fatah Chotib Uddin, S.H., M.Kn, serta Jaksa Fasilitator Yanti Agustini, S.H. dan Juliyanti Safitri Siregar, S.H., M.H menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Setelah itu, korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan, terlebih Korban belum mengalami kerugian karena Tersangka mengembalikan ponsel korban.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta. Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta Danang Suryo Wibowo, S.H., LL.M. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 25 September 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 9 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
2. Tersangka Abdurrahman bin Sarifudin dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
3. Tersangka Muhammad Rivaldi dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
4. Tersangka Muhammad Syaban Ramadhani Simamora bin Idris Simamora dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
5. Tersangka Marselino Karamoy dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Marson Londorang alias Baranda dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Talaud, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
7. Tersangka Stevina Langelo dari Kejaksaan Negeri Minahasa, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
8. Tersangka Sendirian Ndururu dari Kejaksaan Negeri Nias Selatan, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
9. Tersangka Susanti Siahaan dari Kejaksaan Negeri Toba Samosir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
10. Tersangka Mahlil Maulana bin M. Jafar dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kemudian dijelaskan Kapuspenkum Harli Siregar, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkasnya (redaksi)