Rokan Hilir – Pegiat seni muda, Jong Adek, menyoroti kondisi kesenian di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) yang kian memudar. Ia menyebut, Rohil sebagai tanah bertuah yang kaya akan minyak bumi, gas, dan juga warisan seni-budaya, namun kini geliat dunia seninya kian redup bak pelita kehabisan minyak.
“Seni dan budaya mulai tersisih, bukan karena tak bernilai, tapi karena tak diberi tempat,” ujarnya. Senin (25/8/2025)
Menurutnya, seni dulunya adalah nadi kehidupan masyarakat. Anak-anak di kampung belajar silat, membacakan pantun, memukul gendang, dan menari zapin bukan karena disuruh, tapi karena bangga menjadi bagian dari warisan leluhur. Kini, generasi muda lebih mengenal budaya luar dan selebriti media sosial dibanding tokoh dan budayawan lokal.
Seni Adalah Roh Peradaban
Jong Adek menegaskan, seni bukan sekadar hiburan atau pertunjukan, tetapi merupakan roh zaman yang merangkum jati diri, nilai budaya, dan marwah bangsa. Namun sayangnya, banyak sanggar di Rohil kini mati suri, program kesenian lesu, perhatian minim, dan ruang berekspresi makin sempit.
“Bukan karena tak ada bibit atau minat, tapi karena tak adanya sistem dan perhatian yang berkelanjutan. Dunia seni di Rohil ibarat berlayar tanpa nakhoda, berumah tanpa tiang,” jelasnya.
Ia mengingatkan, negeri yang besar bukan yang dipenuhi bangunan megah, tapi yang teguh memegang budayanya.
“Jangan biarkan Rohil menjadi negeri yang asing bagi budayanya sendiri,” tegasnya.
Musenda Harus Jadi Ruang Mufakat
Jong Adek berharap Musyawarah Seni Daerah (Musenda) Rohil tak hanya menjadi ajang seremonial pergantian kepemimpinan Dewan Kesenian Daerah, tetapi menjadi forum penting untuk merumuskan arah baru bagi kemajuan seni budaya.
“Musenda jangan hanya jadi panggung politis. Ia harus menjadi ruang strategis untuk menggulirkan gagasan, membangkitkan sanggar yang tidur, memberi napas baru bagi seniman muda, serta menciptakan program berkelanjutan yang menyentuh akar rumput,” ujarnya.
Harapan untuk Panitia dan Pemerintah Daerah
Jong Adek yang pernah mengenyam pendidikan kampus seni berharap agar para pelaku seni, budayawan, pemangku adat, dan pemerintah daerah bersama-sama membangun kembali “rumah seni” Rohil.
“Bangkitkan kembali sanggar-sanggar, hidupkan program pelatihan, buka ruang dialog lintas generasi. Bahkan bila perlu, bangun satu gedung pertunjukan seni yang representatif,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan panitia Musenda agar menjalankan tugas secara adil, transparan, dan profesional.
“Musyawarah itu ibarat perahu, dan panitia adalah nahkodanya. Kalau nahkodanya condong, karam perahunya. Maka bersikaplah jujur dan kedepankan martabat seni, bukan kepentingan kelompok,” tegasnya.
Jong Adek menekankan bahwa kesenian adalah milik bersama, bukan milik satu golongan. Semua unsur seniman—tua, muda, tradisi maupun kontemporer—berhak menyampaikan gagasan tanpa tekanan atau manipulasi.
“Jika Musenda hanya fokus pada urusan kursi, maka itu sama saja menanam benih kekecewaan bagi para pelaku seni yang selama ini berjuang dalam sunyi,” tambahnya.
Ia menutup pernyataannya dengan mengutip pepatah Melayu:
“Adat berjenjang, mufakat bertingkat. Jika musyawarah dijalankan tanpa rasa keadilan, maka yang lahir bukan keputusan, melainkan perpecahan. Dan jika itu terjadi, bukan hanya seniman yang rugi, tapi negeri ini juga kehilangan napas budayanya,” Tutupnya.