Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Jakarta – Dalam pergaulan kita di dunia yang fana ini, kita tidak akan pernah lepas dari sikap puji memuji seseorang karena sesuatu hal dan lain sebab.
Baik itu lantaran prestasi yang dibuatnya; lantaran pangkat dan jabatannya; lantaran ilmu dan kealimannya atau lantaran perkara-perkara lainnya.
Memuji seseorang pada dasarnya tidak dilarang dalam agama, selama pujian itu tidak merusakkan orang yang dipuji atau membuat dirinya menjadi angkuh dan sombong.
Pujian itu sendiri haruslah benar-benar berkaitan dengan sesuatu yang ada pada dirinya. Bukan pujian yang dibuat-buat untuk me-nyenangkan hatinya atau punya maksud tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari orang yang dipujinya.
Paling penting lagi untuk diper-hatikan adalah bahwa pujian yang diberikan itu tidak berlebih-lebihan. Sehingga sadar atau tidak sadar melebihi pujian yang seharusnya hanya ditujukan untuk dan kepada Al-Khalik; Allahu Subhana Wa Ta’ala.
Sebab bagaimanapun juga yang pantas dan layak serta satu-satunya yang wajib dipuja-puji hanyalah Allah Ta’ala sebagaimana Firman-Nya: “dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya-lah segala penentuan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Qashash: 70)
Sehubungan masalah puji memuji ini, maka dikatakan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghzali; “Jika suatu sa’at kita mendapat pujian; baik banyak atau sedikit, maka segeralah beristighfar memohon ampunan Allah. Sebab pada hakikatnya yang mereka puji itu adalah Allah yang telah memberikan dirimu kehormatan, dan dengan segenap kemurahan-Nya telah menyembunyikan atau menutupi aib atau cacat cela yang ada pada dirimu. Hal ini wajib dilakukan, agar engkau tidak terjebak dalam perasaan sombong atau ujub, yang kelak dengan hal itu engkau mendapat siksaan yang pedih diri Allah sebagai-mana yang telah Allah peringatkan dengan Firman-Nya:
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji ter-hadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Q.S. Ali ‘Imran: 188)
Dikatakan juga oleh Syaikh Abdullah AlGhazali, bahwa orang yang tergiur oleh pujian manusia atau paling suka kalau mendapat pujian, sedangkan ia mengetahui tentang kelemahan dan kesalahan serta dosa yang dimilikinya; maka orang semacam itu adalah orang yang bodoh di sisi Allah yang kelak akan disiksa Allah karena kebodohannya.
Dan oleh sebab khawatir akan hal yang semacam itulah Rasulullah SAW melarang untuk tidak sembarangan memberikan pujian sebagaimana yang tersirat dalam hadits beliau: “Bahwa ada seorang pria yang disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang hadirin memuji orang tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda: “Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (beliau ucapkan kalimat itu beberapa kali). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa atau harus memuji, maka ucapkanlah, “Saya kira si fulan demikian kondisinya.” Jika dia menganggapnya demikian. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah.” (HR.Bukhari dari Abu Bakrah r.a)
Dan berkaitan dengan hal itu pula, jika seseorang mendapat pujian, dan pujian itu memang benar sesuai dengan kondisi diri yang dimilikinya; maka hendaklah ia sadari bahwa hal itu adalah semata-mata anugerah Allah Ta’ala kepada dirinya. Sehingga pada akhirnya ia tidak akan terpesona dengan pujian itu.
Bahkan merasa malu kepada Allah dan berjanji pada dirinya untuk meningkatkan keimanan dan keta’atannya kepada Allah sebagai upaya memelihara dengan sebaik-baiknya anugerah Allah tersebut.
Pada bagian lain Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan; Bahwa jika kita ingin memuji seseorang, maka janganlah memujinya hanya karena melihat pangkat atau jabatannya; kealiman atau keilmuannya atau prestasi lain yang dibuatnya. Akan tetapi lihatlah pada budi pekerti atau akhlaknya. Sebab Muhammad Rasulullah SAW tidaklah dipuji Allah lantaran ia seorang Rasul atau Nabi pilihan-Nya, tetapi karena budi pekerti atau akhlak beliau yang mulia. Dan hal ini secara tegas Allah nyatakan dengan Fiman-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam: 4)
Dalam hal ini, jika akhlak atau budi pekertinya tidak bersesuaian dengan pujian yang akan disematkan kepadanya; atau dengan kata lain ia memiliki akhlak yang tidak terpuji, maka sehebat apapun dirinya tidaklah ia layak untuk dipuji.
Tidak pandang apakah ia seorang Raja atau Sultan; seorang ulama yang alim; seorang hartawan yang kaya raya atau apapun pangkat dan jabatan dirinya. Semoga kita tidak keliru dalam memuji seseorang yang kita kagumi. Wallahua’lam.
Jakarta, 11 Muharram 1440 H / 21 September 2018.