Ady Thea DA,
Senin Kemarin, 28 Januari 2019
Penegakan hukum lingkungan hidup cukup berhasil melalui mekanisme gugatan perdata yang dimenangkan KLHK terkait kasus kerugian dan pemulihan lingkungan hidup totalnya mencapai Rp 18 triliun. Tapi belum ada yang dieksekusi.
Konstitusi mengamanatkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selaras dengan itu, pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk melindungi lingkungan hidup seperti UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Regulasi ini bisa menjerat pelaku perusak lingkungan hidup baik secara individu maupun korporasi. Sayangnya, proses penegakan hukum lingkungan hidup selama ini belum berjalan sesuai harapan. Manajer Kajian dan Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi, Boy Even Sembiring menilai pemerintah telah melakukan berbagai upaya menegakkan hukum lingkungan hidup. Misalnya, melakukan audit perizinan yang berakibat ada sebagian izin yang dicabut.
Ada juga yang diproses secara hukum seperti dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, pencemaran, dan penebangan liar. Meski demikian, Boy melihat upaya penegakan hukum yang dilakukan belum maksimal atau optimal karena yang ditindak kebanyakan individu bukan korporasi. Seperti dalam kasus pembalakan liar, yang diproses hanya supir truk pengangkut kayu.
Padahal, kata Boy, jika menggunakan UU P3H dan UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), pihak yang bisa dijerat bukan hanya individu ,tapi juga korporasi. “Semestinya dalam penegakan hukum lingkungan hidup ini yang ditindak bukan hanya individu, tapi juga korporasi,” kata Boy dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Walhi mencatat penegakan hukum pidana lingkungan yang ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ada sekitar 127 kasus siap dilimpahkan ke pengadilan. Dari 127 kasus itu, 79 kasus pembalakan liar, 20 kasus perambahan hutan, 26 kasus peredaran ilegal tumbuhan, dan satwa liar, 2 kasus pencemaran, dan 1 kasus kebakaran hutan/lahan. Hanya saja, mayoritas perkara itu, menyasar pertanggungjawaban pidana subyek hukum perorangan.
Sementara, proses hukum untuk korporasi yang diduga melakukan kejahatan lingkungan tergolong lamban. Misalnya, Walhi telah melakukan laporan terhadap kasus pencemaran akibat tumpahan minyak di teluk Balikpapan sekitar Maret-April 2018. Laporan yang dilayangkan Walhi kepada Polri dan KLHK terkait kasus pencemaran itu sampai sekarang belum mendapat respon.
Tapi, penegakan hukum lingkungan hidup cukup berhasil melalui mekanisme perdata. Walhi juga mencatat periode 2015-2018, KLHK mengantongi deposit kemenangan terhadap korporasi sebesar Rp16,94 triliun akibat kerugian pencemaran lingkungan hidup dan Rp1,37 triliun untuk biaya pemulihan. Sekalipun menang, tapi belum ada satu pun putusan yang dieksekusi.
Boy menilai pemerintah kurang serius melakukan eksekusi terhadap putusan perdata itu. Mengingat nominal gugatan yang besar, pemerintah harusnya mengajukan sita jaminan. Upaya yang bisa dilakukan pemerintah yakni meminta Mahkamah Agung (MA) merumuskan regulasi untuk pelaksanan eksekusi dalam kasus kerugian dan pemulihan lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati mengingatkan salah satu isu termaktub dalam nawacita menyinggung soal lingkungan hidup. Poin keempat nawacita menyatakan menolak negara lemah dengan menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah, dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat.
“Tapi, selama hampir 5 tahun kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, janji politik sebagaimana tertulis dalam nawacita itu tidak terimplementasi dengan baik,” kritiknya.
Perempuan yang disapa Yaya itu mengakui selama ini pemerintah memang telah menerbitkan kebijakan yang seolah pro lingkungan hidup, tapi dalam praktiknya keberpihakan itu lebih besar pada kepentingan korporasi. Misalnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan Instruksi Presiden No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan Dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
“Tapi implementasi kedua regulasi ini dirasa masih setengah hati. Seharusnya pelaksanaan kebijakan ini harus dibarengi pengawasan yang ketat oleh pemerintah,” harapnya. (Sumber Hukum Online)