JAKARTA –Kalangan pengusaha angkat bicara tentang kabar sembilan perusahaan tekstil yang gulung tikar selama dua tahun terakhir.
Dikutip dari bisnis.com, salah satu penyebab industri tekstil di dalam negeri kalah bersaing di pasar internasional, karena waktu proses (lead time) dari tahap pembuatan hingga distribusi garmen yang sangat panjang.
CEO Busana Apparel Group, Maniwanen, menyatakan bahwa lead time produksi tekstil di Indonesia terlalu panjang karena mayoritas bahan baku diimpor. Lead time produksi tekstil di dalam negeri bisa memakan waktu hingga 120 hari, jauh lebih lama ketimbang negara lain yang hanya 60 hari.
“Untuk mencapai 60 hari, kita harus punya produk seluruhnya dari dalam negeri,” kata Maniwanen, yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Senin (/9/2019).
Sedangkan, industri fast fashion saat ini sedang berkembang pesat di berbagai negara, terutama pesaing Indonesia seperti China, Vietnam, Bangladesh, dan Sri Lanka.
Dia menjelaskan bahwa selain bahan baku yang masih harus diimpor, iklim investasi di Indonesia juga perlu diperhatikan agar peluang dari relokasi industri di China dapat diambil oleh Indonesia.
Karena itu, menurut Maniwanen, Indonesia harus segera membenahi iklim investasi khususnya di bidang industri tekstil untuk mencegah lebih banyak perusahaan kolaps di masa mendatang.
Caranya dengan membuat peraturan hulu yang fleksibel, didukung dengan biaya energi (listrik) yang lebih murah, peluang investasi untuk sektor tekstil dapat disalip oleh Kamboja, Myanmar, bahkan Ethiopia.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, menyebutkan setidaknya ada sembilan perusahaan tekstil terpaksa menutup usahanya dalam kurun 2018-2019 karena produk kain impor yang membanjir.
Menurut Ade, besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah.
“Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja),” kata dia pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Adapun perusahaan tekstil yang menutup usahanya lebih banyak di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut. Ade menjelaskan bahwa tutupnya perusahaan tekstil ini tentunya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan lapangan kerja.
Industri tekstil, dan produk tekstil nasional tengah mengalami tekanan, akibat meningkatnya inport tekstil, dan produk tekstil. mengantisipasi derasnya inport tekstil, dan produk tekstil, Kementerian Perindustrian RI mendorong kebijakan tindakan pengamanan atau safeguard bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan langkah itu menjadi salah satu kebijakan yang bakal didorong pemerintah bagi penguatan salah satu sektor prioritas tersebut.
Apalagi, peningkatan arus impor produk TPT kian potensial dengan menimbang kondisi ekonomi global.
“Kita antisipasi dampak internasional, pasti membanjiri pasar lokal. Ada safeguard dan antidumping. Kalau bea masuk kan tidak, sebab ada kesepakatan dengan beberapa negara,” ujar Achmad Sigit, kepada Bisnis.com, Senin (9/9/2019).
Achmad menjelaskan sebenarnya sejumlah usulan safeguard sudah diajukan pelaku industri. Namun, pihaknya mengembalikan usulan tersebut lantaran adanya ketidakharmonisan antara subsektor TPT.
Karena itu, Kemenperin meminta para pelaku industri TPT, dari hulu hingga hilir, membicarakan bersama dan menyepakati usulan safeguard sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
“Kalau ada antidumping dan safeguard, seperti apa komposisinya, supaya harmonis dari hulu ke hilir. Misalnya, di hulu 15 persen di hilir 25 persen, atau semuanya 15 persen, atau seperti apa,” kata Achmad.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, mengatakan industri TPT nasional sangat membutuhkan dukungan kebijakan tersebut. Pihaknya pun tengah menajukan usulan safeguard. Menurutnya, kebijakan itu harus dibarengi dengan peningkatan kinerja pelaku usaha dan juga pembenahan regulasi impor.
“Untuk masalah ini, urgensinya merah, red alert. Atas nama lapangan kerja, atas nama devisa. Karena itu perlu safeguard,” ujar Ade, di sela-sela diskusi bertajuk Textiles Media Gathering, Senin (9/9/2019).
Editor: Amran