Ambon- Kejaksaan Tinggi Maluku bersama jajarannya Kejaksaan Negeri Ambon, berhasil menghentikan penuntutan perkara berdasarkan Keadilan Restoratif pada Kasus Narkotika yang diajukan ke Direktur B pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, I Ngurah Sriada, S.H.,M.H melalui Video Conference diruang Vicon Pidum Kejaksaan Tinggi Maluku, Rabu (27/08/2025)
Mewakili Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, hadir dalam pelaksanaan Restoratif Justice tersebut yakni Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Abdullah Noer Deny, S.H.,M.H, Asisten Tindak Pidana Umum Yunardi, S.H.,M.H, Kasi A Hadjat, S.H, Kasi C Junetha Pattiasina, S.H.,M.H.
Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku Ardy SH.,MH., penyampaian penuntasan perkara melalui Keadilan Restoratif kali ini, berasal dari Kejaksaan Negeri Ambon yang dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Riki Septa Tarigan, S.H.,M.H didampingi Kasi Pidum Kejari Ambon Hubertus Tanate, S.H.,M.H serta Jaksa Fasilitator pada Kejaksaan Negeri Ambon, terkait penanganan perkara Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 dan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1e KUHPidana atas nama tersangka Julius Samuel Koedoeboen alias Same (21) dan Dominggus Yusuf Rahabeat alias Dedy (28).
Keduanya kata Kasi Penkum Kejati Maluku Ardy, ditangkap pada 20 Mei 2025 di depan Lorong Gapura Depok 4, Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, dengan barang bukti berupa satu paket sabu seberat 0,1005 gram yang disembunyikan di dalam casing telepon genggam. Hasil tes laboratorium menunjukkan keduanya positif menggunakan methamphetamine.
Selanjutnya, Kajari Ambon melalui ekspos perkara menegaskan, syarat untuk penyelesaian perkara melalui rehabilitasi telah terpenuhi, antara lain barang bukti yang tidak melebihi pemakaian satu hari, belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, tidak masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), serta adanya jaminan dari keluarga dan pernyataan kesediaan tersangka untuk menjalani rehabilitasi.
“Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif ini dilakukan karena para tersangka adalah korban penyalahgunaan narkotika, bukan bagian dari jaringan peredaran. Pendekatan ini juga sejalan dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 serta Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025,” jelas Kajari.
Berdasarkan kesepakatan, kedua tersangka akan menjalani rehabilitasi medis dan sosial selama empat bulan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku. Selain itu, mereka juga diwajibkan menjalani kerja sosial berupa pembersihan rumah ibadah di lingkungan tempat tinggal masing-masing selama satu bulan. Seluruh biaya rehabilitasi akan ditanggung mandiri oleh keluarga tersangka.
Langkah Kejari Ambon ini mendapat dukungan dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tetangga tersangka yang hadir dalam proses penyelesaian perkara pada 14 Agustus 2025.
Adapun Jaksa P-16 dalam perkara ini yakni Endang Anakoda, S.H.,M.H, Leunard Tuanakotta, S.H dan Secretchil Evvivania Pentury, S.H.,M.H.,
Sehari sebelumnya, Selasa (26/08/2025), Kejaksaan Negeri Maluku Barat Daya (MBD) mengajukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap tersangka Reicke Dores Lewanmeru alias Doris, dalam perkara Pasal 80 Ayat (1) Jo Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pengajuan penghentian oleh Kejari MBD tersebut bersama dengan Wakajati Maluku Abdullah Noer Deny, S.H.,M.H, Aspidum Yunardi, S.H.,M.H, Kasi A Hadjat, S.H, Kasi C Junetha Pattiasina, S.H.,M.H, Kasi D Achmad Attamimi, S.H.,M.H serta Kajari MBD Hery Somantri, S.H.,M.H dan Kasi Pidum Kejari MBD serta para Kajari dan Kasi Pidum se-Maluku, diajukan ke Direktur C pada JAM-Pidum Kejagung RI, Yudi Indra Gunawan, S.H.,M.H beserta Tim Restorative Justice Kejaksaan Agung RI.
Kasus ini bermula ketika Doris, dalam kondisi mabuk setelah mengkonsumsi minuman keras jenis sopi, lalu tersangka memukul keponakannya sendiri, Hosea Masela alias Sea yang berusia 15 tahun, karena merasa tersinggung oleh perkataan kasar korban. Doris kemudian mengaku menyesal dan meminta maaf. Pihak korban dan keluarga telah memaafkan dan sepakat menyelesaikan perkara secara damai.
Kasi Intel Kejari MBD menyebutkan, alasan pengajuan restorative justice karena tersangka adalah tulang punggung keluarga, belum pernah berurusan dengan hukum, serta perdamaian telah tercapai.
“Dengan mempertimbangkan kemanfaatan hukum, kepentingan korban yang masih anak, serta adanya perdamaian kedua belah pihak, maka penyelesaian melalui restorative justice dipandang lebih tepat dibanding melanjutkan proses penuntutan,” ujarnya.
Jaksa P-16 dalam penanganan perkara tersebut yakni Reinaldo Sampe, S.H.,M.H, Irfan Setya Pambudi, S.H dan Johan Armindo Korbaffo, S.H.
Menindaklanjuti Paparan yang disampaikan jajaran Kejaksaan Negeri Ambon dan Kejaksaan Negeri Maluku Barat Daya melalui Video Conference bersama Wakajati Maluku dan jajaran Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Maluku. Maka Tim Restoratif Justice pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum berkesimpulan sepakat dan menyetujui untuk dilakukan Penghentian Penuntutan dalam perkara – perkara tersebut berdasarkan Keadilan Restoratif dan upaya Penegakan Hukum yang Humanis, sebagaimana dengan mempertimbangkan persyaratan perdamaian dan penerapan Pasal 5 ayat (1) yang tertuang didalamnya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan ancaman pidana penjara dibawah 5 tahun serta nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000,-.
Komitmen Penegakan Hukum Humanis terhadap dua perkara ini menunjukkan arah kebijakan kejaksaan di Maluku yang tidak semata-mata menekankan aspek penghukuman, tetapi juga aspek pemulihan sosial. Baik dalam kasus narkotika maupun penganiayaan, pendekatan restorative justice dipandang mampu memberikan manfaat yang lebih besar, tidak hanya bagi tersangka, tetapi juga bagi korban, keluarga, dan masyarakat luas. (redaksi)