Nama Abu Ibrahim Al-Hashimi Al-Quraishi (disingkat Al-Quraishi) yang dikabarkan menjadi pengganti Abu Bakar Al-Baghdadi (1971-2019) sampai saat ini masih misterius. Siapakah dia sebenarnya? Melacak profil Al-Quraishi sepertinya tidak mudah, karena nama kunyah (panggilan)atau nom de guerre (nama perang) tersebut tidak banyak yang tahu. Namun, satu hal yang pasti dari nama dia adalah adanya keyakinan bahwa khalifah pengganti Al-Baghdadi haruslah dari suku Quraish.
Khalifah pertama, Al-Baghdadi, dikabarkan adalah keturunan Quraish. Maka, ketika dia berhalangan tetap, dia harus diganti dengan keturunan Quraish juga. Hal ini mereka lakukan agar senada dengan hadis Nabi Muhammad: Kepemimpinan adalah berasal dari Quraish (HR. Ahmad). Terlepas dari siapa sosok Al-Quraishi, apakah dia keturunan Quraish atau bukan, hal yang penting untuk dibahas, bagaimana ISIS di bawah dia, apa strategi yang dapat dibaca, dan apa yang akan mereka lakukan untuk itu?
Selama lima tahun terakhir, ISIS di bawah Al-Baghdadi telah mendapatkan simpati dari puluhan petarung asing untuk hadir di sana. Mereka juga menguasai wilayah seluas Inggris Raya. Belum lagi ladang minyak dan gas di Provinsi Deir Ezzor yang mereka kuasai yang menjadi penopang finansialnya. Sebagai sebuah “negara semu jihadis” (Brynjar Lia, 2015), mereka telah mulai membangun negara, yang berbeda dengan kelompok Al-Qaeda yang belum masuk pada fase pendirian khilafah.
Rukmini Callimachi dan Eric Schmitt dalam tulisannya di New York Times, 31 Oktober 2019 mengatakan, setidaknya ada dua beban yang dihadapi oleh Al-Quraishi sebagai pemimpin ISIS pasca Al-Baghdadi. Pertama, beban sebagai khalifah yang tidak lagi punya wilayah. Kedua, beban untuk membuat sebuah gerakan untuk mempertahankan moral basis pendukungnya.
Saat ini, ISIS praktis tidak punya tanah lagi, banyak tokoh utamanya yang mati, serta banyak yang berada di terali besi. Dalam kondisi seperti ini, tidak mudah bagi Al-Quraishi untuk mengendalikan organisasinya tersebut. Kemudian, langkah untuk mempertahankan moral basis pendukung juga tidak mudah. Dalam kondisi organisasi kekhalifahan yang hancur, tak punya wilayah, serta pemimpin yang tewas, tentu hal itu menjadi pukulan telak bagi pendukung ISIS.
Maka, salah satu yang akan dilakukan oleh Al-Quraishi dalam konteks ini adalah mengembalikan semangat para pendukung yang sedikit banyaknya terjatuh seiring dengan jatuhnya ISIS. Artinya, kemungkinan bahwa ISIS akan melakukan retaliasi atau balas dendam sangat mungkin terjadi. Hukum aksi-reaksi itu ada, bahkan dalam gerakan teroris. Retaliasi ini bisa jadi dilakukan di kawasan Irak dan Suriah, atau bahkan di luarnya, tak terkecuali di Indonesia.
Dengan dalih solidaritas, seorang teroris yang berpisah oleh jarak bisa melakukan tindakan ekstrem menggunakan berbagai sarana yang terjangkau bahkan mungkin murah seperti menggunakan pisau, atau selebaran gelap dengan tujuan untuk memberikan rasa takut kepada aparat keamanan yang dianggap kafir dan halal darahnya.
Bagi mereka yang tetap yakin dengan jalan perjuangan ISIS, besar kemungkinan akan melakukan sumpah-setia (bay’at)pada Al-Quraishi yang dilakukan berjamaah seperti yang dilakukan di Indonesia setelah kegiatan, ataukah dilakukan secara personal. Namun, saya yakin gelombang umat Islam yang akan baiat pada Al-Quraishi tidak akan banyak, karena ternyata apa yang dijanjikan ISIS tidak sepenuhnya betul (seperti yang bisa kita baca dari berbagai berita dan testimoni).
Di awal-awal berdirinya ISIS, saya lihat tak jarang orang yang ikut baiat karena sekedar ikut, atau karena “terjebak” dalam sebuah acara yang ternyata sebelum berakhir diisi dengan sebuah baiat. Mereka hadir di acara tersebut–sebutlah misalnya tabligh akbar–bisa jadi sekedar ingin tahu, tetapi ketika telah ada baiat mau tak mau mereka pun ikut-ikutan, dan apesnya lagi sejak itu mereka kemudian dianggap sebagai ekstremis.
Kembali pada Al-Quraishi, sejauh ini profil dia yang dapat ditelusuri adalah sebagai seorang veteran perang melawan Barat, pernah menjadi komandan perang, dan berpendidikan agama. Kekuatan itu bisa menambah loyalitas para pendukungnya. Artinya, tanpa label Quraish bisa jadi pendukung ISIS akan meragukan kekhalifahan ini, tapi dengan label etnik tersebut–yang dipercaya sebagai pemimpin kekhalifahan–akan memperkuat keyakinan para pendukung.
Namun, terlepas dari kekuatan seorang Al-Quraishi, saat ini organisasi mereka memang lemah. Kondisi ini kelihatannya hampir sama dengan Al-Qaeda setelah kematian Osama bin Laden di Abbottabad, Pakistan, 2011. Aiman Al-Zawahiri (lahir 1951 di Maadi, Mesir) sebagai pengganti Bin Laden tidak begitu kharismatik ketimbang pendahulunya. Kondisi kehilangan pemimpin ini memang menjatuhkan mereka.
Tetapi, seiring waktu kemungkinan ISIS akan tetap mengorganisasikan kembali tubuhnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Saya jadi membayangkan kondisi ISIS ini dengan terminator jahat Rev-9 dalam film Terminator Dark Fate (2019), yang kendati sudah ditembak berkali-kali, tetap saja dia bisa kembali seperti sosok awal, bahkan dapat membelah diri menjadi dua. Mungkin tidak sama persis dengan ISIS, tetapi kemajuan yang diperoleh pasukan koalisi hingga ISIS sebagai organisasi hancur lebur dan orang nomor satunya juga mati di dekat kampung Barisha, Suriah tidak menjadi jaminan bahwa ISIS tidak akan kembali mengorganisasikan diri kembali seperti Rev-9 itu.
Terlepas dari apapun strategi ISIS di bawah Al-Quraishi untuk bangkit kembali, semangat untuk anti dan melawan ekstremisme-kekerasan, termasuk terorisme, haruslah ada dalam diri tiap kita. Bahwa sikap dan tindakan ekstrem tidaklah benar untuk menjadi pilihan hidup, apalagi sisi ekstrem itu dibarengi dengan kekerasan.
Satu hal yang cukup penting lagi untuk melawan terorisme ISIS (dan juga dukungan terhadapnya) adalah dengan mendekatkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Michael Nagata, pensiunan AD Amerika Serikat yang selama 34 tahun bertugas dalam operasi khusus terorisme, dalam ceramahnya Are We Winning Against Terrorism? di The Institute of World Politics, 12 September 2019,menyebutkan poin penting itu: kedekatan pemerintah dan masyarakat.
Sepertinya, Nagata hendak mengatakan bahwa “sebagian dari tumbuhnya ekstremisme kekerasan diakibatkan oleh kemunduran relasi antara pemerintah dengan masyarakatnya.” Maka, menjadi penting bagi pemerintah untuk mendekatkan diri dengan masyarakat dalam arti mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro kepada rakyat dan membangun kembali “relasi-relasi tradisional” dalam berbagai bentuknya.
Komunikasi yang erat antara berbagai unsur masyarakat dengan pemerintah sangat penting untuk mencegah terjadinya kekecewaan demi kekecewaan yang terus menumpuk yang berujung pada tindakan ekstrem.
Yanuardi Syukur Sekjen Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), peneliti Indonesian Center for Countering Violent Extremism (ICCVE), Kandidat Doktor Antropologi FISIP UI
Redaksi : Amran