Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Sumatratimes.com -Tanpa terasa sekarang ini sudah 73 tahun bangsa dan negeri yang kita cintai ini merdeka dari penjajahan bangsa asing.
Itu artinya secara fisik kita bebas melakukan apa saja untuk membangun bangsa dan negeri yang kita cintai ini. Dan tentu saja sejak awal “umat Islam” di negeri inilah yang paling banyak berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan “republik” yang kita cintai ini.

Sebab dalam kenyataannya, Islam-lah yang mula pertama mencanangkan adanya kebebasan dan kemerdekaan manusia secara phisik. Baik secara perorangan maupun kemerdekaan berbangsa dan bernegara sebagai-mana yang dinyatakan secara transparan oleh Al-Quran:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami men-ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan se-orang perempuan dan menjadikan kamu ber-bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat: 13)

Sementara itu dalam sebuah hadis qudsi yang bersumber dari Abu Dzar Al-Ghiffari r.a Allah berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman kepada diri-Ku sendiri dan Aku jadikan kezhaliman itu haram diantara kamu, maka janganlah kalian saling zhalim menzhalimi.” (HR. Muslim)
Sejarah membuktikan, bahwa pada masa awalnya setiap kali pasukan kaum Muslimin melakukan ekspansi ke negara-negara lain, mereka tidak pernah merampas kekayaan negara-negara yang ditaklukannya, tidak pernah memperbudak rakyatnya dan tidak pernah berusaha agar mereka tetap berkuasa di negara tersebut. Yang mereka inginkan adalah mengajak orang kepada kebaikan, yaitu masuk Islam.

Itupun tidak dengan paksaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)
Dalam hal ini kalau ada negeri yang berhasil mereka taklukkan dan penduduknya berkenan masuk Islam, maka penduduk negeri tersebut menjadi saudara mereka sesama muslim. Dan andai menolak, maka yang mereka minta hanyalah agar penduduk negeri tersebut membayar jizyah (upeti) untuk menunjukan bahwa mereka tidak menentang dan berusaha memerangi umat Islam.
Dan jika mereka menolak kedua pilihan tersebut, barulah mereka boleh diperangi sampai akhirnya memilih salah satu dari dua pilihan yang diajukan Islam sangat-sangat menghargai kebebasan dan kemerdekaan yang menjadi hak asasi setiap manusia.
Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa sampai saat ini masih banyak kaum muslimin atau umat Islam; khususnya di negeri ini, yang salah kaprah dalam memahami makna kebebasan dan kemerdekaan sebagaimana yang diajarkan Islam.
Banyak yang beranggapan, bahwa dalam alam kemerdekaan dan kebebasan yang mereka dapatkan, mereka boleh berbuat apa saja, asal tidak menzhalimi dan merampas hak milik orang lain. Padahal pendapat ini jelas salah dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam memang sangat melarang dan mengharamkan perbuatan-perbuatan aniaya dan zalim, yang dapat merugikan orang lain. Akan tetapi hal itu bukanlah berati kita bebas melakukan apa saja yang kita sukai, asal tidak berbuat aniaya dan zalim sebagaimana yan disebutkan di atas.
Sebab Islam juga melarang seseorang untuk berbuat zalim dan aniaya, yang dapat merugikan dirinya sendiri sebagai-mana yang tersirat dalam firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6)
Oleh sebab keadaan yang demikian inilah seseorang yang mengaku dirinya beriman; hamba Allah dari kalangan kaum muslimin tidak bisa dan tidak boleh merasa dirinya bebas merdeka begitu saja, dijajah dan diperbudak oleh hawa nafsunya.
Apalagi dunia ini adalah hanya sekedar tempatnya lewat untuk mencapai dan mendapatkan kemerdekaan yang lebih hakiki, tanpa syarat dan tanpa batas; yakni alam akhkirat dengan segala macam kenikmatan yang telah dijanjikan Allah untuknya.

Kemerdekaan bagi seorang mukmin atau seorang muslim adalah kemerdekaan yang bersyarat, lantaran ia harus tunduk; patuh dan taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak akan membiarkan dirinya dijajah oleh hawa nafsu yang akan merugikannya, sebagaimana yang diingatkan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya ?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat); Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ?” (Q.S. Al-Jatsiyah: 23)
Semoga dalam suasana peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang kita cintai ini, kita benar-benar bisa memahami makna kemerdekaan yang hakiki untuk keselamatan dan kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat kelak. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 5 Dzulhijjah 1439 H / 17 Agustus 2018