JAKARTA – Pemerintah berencana menaikan iuran peserta BPJS Kesehatan mulai awal tahun 2020. Langkah itu diambil karena dianggap paling tepat untuk mengatasi permasalahan defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Dikutip dari kompas.com, pada 2018 lalu, defisit keuangan lembaga tersebut mencapai Rp 18,3 triliun. Bahkan, tahun ini defisit keuangan BPJS Kesehatan diperkirakan menjadi Rp 32 triliun. Diharapkan, dengan kenaikan iuran tersebut pemerintah tak perlu lagi menyuntikkan dana ke BPJS Kesehatan.
Peserta Kelas III dikenakan iuran dari Rp 25.500 per bulan per jiwa, menjadi Rp 42.000 per orang per bulan. Peserta Kelas II, dikenakan iuran dari Rp 51.000 per bulan per orang, naik menjadi Rp 110.000 per orang per bulan.
Bagi peserta Kelas I, saat ini membayar iuran Rp 80.000 per bulan per orang, nantinya akan membayar iuran Rp 160.000 per orang per bulan. Rencana kenaikan ini mendapat penolakan dari masyarakat.
Pasalnya, kenaikan iuran itu dianggap membebani dan menurunkan daya beli masyarakat, serta mengejar keuntungan dan kepentingan penghasilan pelaku dan jaringan BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini juga akan membebani pemerintah daerah.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris meyakini kenaikan iuran tersebut masih terjangkau bagi masyarakat. Sebab, jika dihitung perharinya, biaya yang dikeluarkan masyarakat masih relatif terjangkau.
“Narasi iuran ini untuk Kelas I masyarakat non formal kurang lebih Rp 5.000 per hari. Untuk dana pemeliharaan diri hanya Rp 5.000 per harinya,” ujar Fahmi, di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Selanjutnya, untuk peserta kelas II diwajibkan membayar iuran sebesar Rp 110.000 per orang tiap bulannya, kata Fahmi, jika dikalkulasikan dalam tiap harinya, para peserta cukup menyisihkan dana sekitar Rp 3.000.
“Untuk kelas III sekitar Rp 1.800-1.900 per hari,” kata Fahmi.
Apalagi jika masyarakat yang benar-benar tak mampu iurannya akan dibayarkan oleh pemerintah. Masyarakat tersebut masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI). Atas dasar itu, Fahmi menilai kenaikan ini tak akan membebani masyarakat.
“Kalau iuran dinaikkan seperti yang diusulkan, pemerintah berkontribusi hampir 80 persen. Jadi salah besar kalau beban ini dibebankan ke masyarakat. Pemerintah tetap di depan untuk menyelsaikan masalah ini,” ucap dia.
Jalan satu-satunya, Fahmi menilai tak ada cara lain untuk menyelamatkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selain menaikan iurannya. Menurut dia, faktor utama yang menyebabkan keuangan BPJS Kesehatan berdarah-darah karena iuran yang dibayarkan masyarakat tak sesuai.
Fahmi membeberkan, berdasarkan data yang dimilikinya pada 2016 lalu, seharusnya peserta BPJS kelas III non formal iuran idealnya sebesar Rp 56.000 per bulannya. Namun, pemerintah memutuskan agar iuran untuk peserta kategori tersebut hanya sebesar Rp 25.500 per bulannya.
Lalu, untuk peserta kelas II kategori non formal seharusnya membayar iuran Rp 63.000. Namun, pemerintah memutuskan agar iuran peserta kategori tersebut hanya dibebankan membayar Rp 51.000 per bulannya.
“Itu artinya sudah diskon. Diskonnya Rp 12.000,” kata Fahmi.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengaku telah ratusan kali menggelar rapat soal defisit keuangan BPJS Kesehatan. Dalam rapat tersebut pemerintah mencari cara agar keuangan BPJS Kesehatan tidak tekor. Salah satu cara yang dipertimbangkan pemerintah, yakni dengan menaikan iurannya.
“Jadi penyesuaian iuran peserta (BPJS Kesehatan) itu the last option,” ujar Mardiasmo di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Adapun cara pertama yang coba dilakukan pemerintah, yakni memperbaiki sistem dan manajemen JKN. Dalam perbaikan sistem dan manajemen JKN itu termasuk di dalamnya melakukan pendataan peserta.
“Jangan sampai ada peserta yang tidak benar. Peserta itu mempengaruhi jumlah iurannya. Peserta harus valid dan iurannya semua harus bayar,” kata Mardiasmo.
Cara ke dua, lanjut Mardiasmo, yakni penguatan peran Pemerintah Daerah dalam rangka penguatan BPJS Kesehatan. Ketiga, barulah kenaikan iuran peserta.
“Bagaimana perbaikan sistem JKN. Perbaiki dulu sistemnya, Menkeu (Sri Mulyani) tidak akan menambah Rp 1 kalau tidak diperbaiki. Karena sistem JKN harus sustain harus diketahui semuanya,” ucap dia.
Mardiasmo pun membeberkan penyebab keuangan BPJS Kesehatan selalu tekor. Menurut Mardiasmo, kategori peserta bukan penerima upah (PBPU) lah yang membuat keuangan BPJS Kesehatan deficit, dan bukan disebabkan seringnya pasien bolak-balik berobat ke faskes.
“Yang relatif mampu. Inilah yang sebenarnya sumber membawa BPJS Kesehatan defisit. Dia mendaftar (BPJS Kesehatan) saat sakit, dan begitu sudah sembuh dia berhenti bayar premi,” ujar Mardiasmo.
Mardiasmo menambahkan, kelompok PBPU ini berjumlah 29 juta orang. Dari 29 juta tersebut hanya 50 persen yang membayar iuran rutin tiap bulannya.
“Dalam asuransi yang bagus itu kan no premi, no klaim,” kata Mardiasmo.
Lebih parahnya lagi, lanjut Mardiasmo, rata-rata golongan PBPU tersebut memiliki penyakit yang masuk golongan katastropik atau penyakit yang perawatannya membutuhkan biaya yang tinggi.
“Kalau masyarakat desa tidak akan membuat defisit. Yang (kategori) jelata yang membebani jadi defisit,” ucap dia.
Fahmi mengakui selama ini pelayanan BPJS Kesehatan di sejumlah fasilitas kesehatan belum baik. Pasalnya, selama ini fasilitas kesehatan yang jadi mitranya masih ada yang mengalami keterlambatan pembayaran. Itu diakibatkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang tak sehat. Biaya pengeluaran BPJS Kesehatan lebih besar dari pendapatan yang diterima dari uang iuran 220 juta pesertanya.
“Ini kan ada proses yang kemudian bisa ganggu pelayanan kalau telat bayar, pasti ada pengaruh. Kita harapkan pengaruh ini jangan sampai berkelanjutan,” ujar Fahmi.
Fahmi pun berjanji jika iurannya naik akan dibarengi dengan peningkatan pelayanan BPJS Kesehatan. Dia optimis bisa melakukan hal tersebut.
“Kalau misalkan iuran naik, kita harapkan proses pembayaran kita bisa lebih tepat waktu. Ini mempengaruhi suasana kerja jadi lebih nyaman. Ini bisa ditarik lah bagaimana iuran yang sesuai dengan peningkatan pelayanan,” kata dia.
Editor : Amran