KENDARI — Sebagai bentuk protes terhadap kelambanan pengungkapan kasus penembakan terhadap dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, puluhan mahasiswa di Kendari berkemah dan menampilkan aksi teatrikal di depan Markas Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), sejak Sabtu (19/10) malam.
Empat boneka dibungkus kafan sengaja dipasang di area perkemahan tersebut. Selain itu, ada keranda mayat yang dibuat dari kain kafan disimpan tak jauh dari pintu keluar Mapolda Sultra.
Koordinator Aliansi Mahasiswa Sedarah Rahman Paramai, mengaku mereka tidak akan pulang ke rumah sebelum polisi menangkap pelaku penembakan Randi (21), dan Muhammad Yusuf Kardawi (19).
“Kami akan tetap bertahan di sini sebelum kasus ini diungkap,” kata Rahman Paramai, saat ditemui CNNIndonesia.com, Sabtu (19/10).
Ia mengaku sudah 18 hari berkemah di depan Markas Korps Bayangkara Polda Sultra itu. Awalnya, mereka percaya kepada polisi bisa mengungkap kasus ini secepatnya. Namun, hingga lima hari pasca peristiwa berdarah belum juga ada titik terang.
“Setelah kami lihat langkah polisi tidak ada progress, kami kemudian menggelar protes dengan cara begini. Makanya, kami bertahan sampai sekarang hingga kasus ini diungkap,” jelasnya.
Selama 18 hari berkemah, mereka hanya menggunakan tiga tenda kecil yang setiap tenda hanya bisa ditempati dua orang. Sisanya, tidur beralaskan tikar dengan langit sebagai atapnya.
Rahman mengakui bahwa aksi semacam ini bukan tanpa risiko. Bahaya kesehatan yang menurun akibat angin malam mengintai mereka. Namun, 30-an mahasiswa ini menganggap aksi ini diperlukan di tengah lambatnya pengusutan kasus kematian Randi dan Yusuf yang sudah 23 hari.
“Ada kekhawatiran soal sakit. Tapi beruntung, ada kawan-kawan dari mahasiswa kesehatan terus mengecek kondisi kami. Kemarin teman-teman sempat ditensi,” jelasnya.
Selain bahaya kesehatan, mereka juga dibayangi ancaman tindakan kriminal dan intimidasi. Suatu malam, kata Rahman, pernah didatangi oleh oknum aparat kepolisian meminta mereka untuk bubar. Bahkan, baliho yang mereka pasang sempat dirusak.
“Tapi, polisi itu diingatkan oleh temannya katanya jangan dibubarkan. Kita tidak melawan dan cukup-lihat saja,” jelasnya.
Soal biaya makan dan minum, Rahman mengaku tidak pusing. Karena banyak yang menyumbangkan rejekinya mendukung aksi mereka.
“Bahkan ada pemulung singgahkan kita gorengan di sini. Kadang juga kita patungan untuk biaya makan dan minum,” bebernya.
Sejauh ini, penanganan kasus ini sudah menyentuh enam polisi, Mereka yang berstatus terperiksa terdiri dari lima bintara, yakni berinisial GM, MI, MA, H dan E; dan satu perwira berinisial DK. Lima bintara menjalani sidang disiplin pada Kamis (17/10) dan AKP DK disidang etik pada Jumat (18/10).
Kabid Propam Polda Sultra AKBP Agoeng Adi Koerniawan, menyebut keenam polisi yang pernah bertugas di Reskrim Polres Kendari itu dinilai melanggar peraturan disiplin anggota Polri Pasal 4 huruf D, F dan L.
“Perintah pak Kapolri, pada saat pengamanan unjuk rasa tidak boleh membawa senjata api. Tapi faktanya berdasarkan hasil pemeriksaan, mereka diduga membawa senjata api,” jelas Agoeng.
Selain sidang disiplin terhadap enam terperiksa, tim Bareskrim Mabes Polri baru melakukan uji balistik terhadap barang bukti senjata, selongsong dan proyektil yang ditemukan di lokasi meninggalnya Yusuf dan Randi.
Terhadap uji balistik ini, Karo Provos Divpropam Mabes Polri Brigjen Hendro Pandowo menyebut, akan mengirim barang bukti ke Belanda dan Australia.
Redaksi / Editor : Amran