Sumatratimes.com – Setidaknya ada dua badan usaha milik negara (BUMN) yang mengatakan mengalami kerugian, yakni Jiwasraya dan BPJS Kersehatan. Masing-masing mengaku mengalami kerugian puluhan triliun.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo menyatakan, pihaknya telah melapor ke Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kemungkinan penggelapan uang nasabah pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
BUMN Asuransi ini mencatatkan modal atau ekuitas minus Rp 24 triliun per September 2019.
“Kalau ada potensi korupsi, ada oknum yang menggelapkan (uang nasabah) di masa lalu akan kami laporkan,” ujar Kartika, ketika ditemui di Komplek Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (14/11).
Selama ini, menurut dia, laporan keuangan perusahaan asuransi tersebut tidak dipublikasikan secara transparan sehingga pihaknya perlu memperdalam kembali seluruh laporannya.
“Setelah laporan keuangan ini kami bedah, ternyata ada hal-hal yang harus disesuaikan,” ujarnya.
Namun, pria yang biasa disapa Tiko ini belum bisa memberikan informasi lebih lanjut terkait skema penyelamatan Jiwasraya. Saat ini, skema tersebut masih dievaluasi Kementerian Keuangan.
Sementara itu, pendirian anak usaha Jiwasraya yaitu PT Jiwasraya Putra yang saat ini telah dilakukan hanya merupakan bagian kecil upaya perbaikan likuiditas perusahaan.
Dalam skema tersebut, Jiwasraya akan melibatkan investor asing yang bertindak sebagai mitra straregis, untuk mengakuisisi saham Jiwasraya Putra. Berdasarkan dokumen Rapat Dengar Pendapat Jiwasraya dengan DPR yang diterima Katadata.co.id, perusahaan asuransi ini mencatatkan modal atau ekuitas minus Rp 24 triliun per September 2019.
Jiwasraya juga disebut membutuhkan dana Rp 32,89 triliun untuk membayar polis jatuh tempo dan memperbaiki likuiditas.
Dokumen tersebut juga mengungkapkan penyebab masalah keuangan perseroan, antara lain kesalahan dalam pembentukan produk Saving Plan dan pengelolaan investasi yang tidak hati-hati. Produk Saving Plan ditawarkan dengan imbal hasil pasti sebesar 9 persen hingga 13 persen sejak 2013 hingga 2018, dengan periode pencairan setiap tahun.
Namun pada kenyataannya, imbal hasil yang ditawarkan itu lebih besar dibandingkan rata-rata hasil investasi di pasar. Perusahaan juga diketahui banyak melakukan investasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi, sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Pada tahun lalu, sebesar 22,4 persen atau Rp 5,7 triliun dari total aset finansial perusahaan ditempatkan pada saham, tetapi hanya 5 persen yang ditempatkan pada saham LQ45. Lalu 59,1 persen atau Rp 14,9 triliun ditempatkan pada reksa dana, tetapi hanya 2 persen yang dikelola oleh top tier manajer investasi. (sumber: katadata.co.id)
Redaksi: Amran