*Oleh: Amran (Pimred Sumatratimes.com)
Selasa, 12 November 2019, kita seharusnya merayakan Hari Ayah Nasional. Tapi nyatanya, sejak ditetapkan pada 2014 lalu, boleh dikata tak ada perayaan sama sekali.
Pemerintah juga tidak ada mengeluarkan intruksi resmi, mewajjbkan untuk merayakannya. Sehingga Hari Ayah Nasional 2019 pun terlewati.
Melihat sejarahnya, Hari Ayah Nasional di Indonesia ditetapkan pada tahun 2014, di Solo. Itu artinya Hari Ayah Nasional pada 12 November 2019 kemarin setidaknya merupakan Hari Ayah Nasional ke 5 tahun
Sama halnya dengan Hari Ayah Internasional, yang diperingati tiap 19 Juni, maka peringatan Hari Ayah Nasional di Indonesia juga sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan kepada Ayah, atas perhatian dan perjuangan kepada keluarga, dan anak-anaknya.
Di Indonesia peringatan Hari Ayah didorong kelompok paguyuban Satu Hati, lintas agama dan budaya bernama Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP. Sedangkan di Amerika Serikat, awal mula peringatan Hari Ayah digagas individu.
Adalah Sonora Smart Dodd, wanita Amerika Serikat, memulai tradisi memperingati Hari Ayah. Ia memperingati Hari Ayah, guna mengingat perjuangan ayahnya, William Smart, yang membesarkan dirinya bersama lima saudara laki-lakinya seorang diri, pasca sang ibu pergi pada 1882, disaat Sanora berusia 16 tahun.
Ketika dewasa, Sonora khawatir tak ada hari untuk menghormati ayahnya. Awalnya, Sonora ingin perayaan digelar pada 5 Juni, bertepatan dengan hari ulang tahun sang ayah. Namun perayaan diundurkan ke hari Minggu, 19 Juni 1910, atau minggu ketiga di bulan Juni.
Tradisi Sanora itu merembet ke individu dan keluarga lainnya di Amerika Serikat, bahkan ke negara-negara lain di dunia.
Sehinggakan sampai saat ini setidaknya sudah 75 negara, termasuk Indonesia, memperingati Hari Ayah secara nasional di negara masing-masing di tanggal dan bulan berbeda.
Sosok Ayah di negara-negara maju, dan negara lainnya, secara umum mungkin tidak jauh beda dengan Indonesia. Persoalan umum yang dihadapi ayah, adalah penghasilan, dan apresiasi keluarga.
Sosok sang Ayah dikatakan berhasil jika memiliki pekerjaan tajir, dan mapan, dengan penghasilan lebih dari mencukupi.
Saya banyak melihat, dan merasakan, bahwa anak-anak di tempat saya, dan daerah-daerah yang pernah saya tinggal, lebih menghormati dan menghargai ibunya,. Padahal sang ayah lah yang bertumpus-lumus mencari nafkah buat mereka.
Banyak dari mereka, anak-anak itu, tidak menyadari apa yang dikenakan dan dipakainya, yang dikonsumsinya, atau uang yang ada padanya dan ibunya, sebenarnya berasal dari hasil jerih payah Sang Ayah.
Mungkin ibunya enggan memberitahu. Hampir tak disadari oleh istri dan anak-anak, bahwa banyak sosok sang ayah, bertarung nyawa dalam mencari nafkah.
Lihatlah berapa banyak ayah-ayah yang tewas tenggelam saat mencari ikan di laut.
Lihat pula berapa banyak ayah yang mengalami kecelakaan kerja saat ia mencari nafkah, dan lihat pula berapa banyak ayah yang tidak pulang kerumah selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, jauh dari keluarga, demi mencari nafkah.
Maka berbahagialah kita jika masih memiliki ayah. Kita masih bisa berbicara didekatnya, mendengar tutur katanya, merasakan hangat pelukkan dan kasih-sayangnya.
Tapi bagi mereka yang ayahnya telah tiada, semua itu menjadi kenangan disepanjang jalan hidupnya. Bahkan kenangan saat bersama Sang Ayah, menjadikannya menitikkan air mata.
Ma’afkan kami, Ayah. ***