Lagu Siapa Suruh Datang Jakarta, selalu ‘menginspirasi’ jika datang ke Kota Metropolitan itu. Nanti, setelah kota itu ditinggalkan pindah ke Penajam, lirik lagu itu akan berganti Sapa Suruh Datang Penajam.
Mengenai Kota Jakarta, saya pernah beberapa kali datang kesana. Terakhir ke kota yang saat ini masih berstatus Ibu Kota Negara Indonesia, pada deklarasi Tanjungpinang Negeri Pantun tahun 2006 silam.
Bukan sebagai penyair, tapi sebagai wartawan.
Kami, para wartawan, di ‘rumahkan’ selama beberapa hari di Hotel Grand Menteng, Jakarta Timur.
Hotel dimana Alda Risma Elfariani, penyanyi, artis film, dan model berbadan sehat, pelantun lagu populer ‘Aku Tak Biasa’, tewas (dengan masih menyisakan misteri) akibat over dosis narkotika.
Sebelumnya, dipenghujung tahun 1995, juga sempat kesana, ke Kota Batavia itu dalam rangka mengikuti Penataran P4 dan Latihan Kepemimpinan Pemuda Tingkat Nasional, yang dilaksanakan Kementerian Pemuda dan Olahraga, BP7 Pusat, KNPI Pusat, dan Kementerian Pendidikan Nasional.
Kami utusan dari senat mahasiswa, dan acara itu berlangsung hampir satu bulan. Setamat penataran dan latihan kepemimpinan itu, kami pun diangkat sebagai Manggala Penatar P4 Tingkat Nasional, dengan SK pengangkatan dari Kepala BP7 Pusat.
Pada Deklarasi Tanjungpinang Negeri Pantun, kami berangkat ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang.
Dari Tanjungpinang ke Bandara Hang Nadim, Kota Batam, terus ke Jakarta, dan tiba di hotel tak sampai setengah hari. Sewaktu masih mahasiswa, kami menggunakan bus, menghabiskan waktu satu hari dua malam.
Warga kota metropolitan ini cuek, terkesan tak peduli dengan lingkungan dan orang sekitar. Tapi jiwa social dan religiusnya masih ada. Itu ditandai dengan banyaknya pengemis di sana, dan tentunya masih banyak tempat ibadah.
Hampir disetiap jembatan penyeberangan orang ditemukan berjejer pengemis, juga di tempat ibadah, dan orang-orang pun bersedekah.
Saya juga sempat ke beberapa pemukiman penduduk (seingat saya) di sekitar Cijantung, Cileduk, dan sekitar terminal dan Pasar Rambutan. Juga di Pasar Tanah Abang, dan Blok M yang terkenal itu.
Dari jalan-jalan itu, sangat terasa Jakarta kotanya para pendatang dan kota urban. Meski mayoritas para pendatang adalah orang-orang Jawa, bahasa pasaran komunikasi sehari-hari adalah dialek Betawi, suku asli Jakarta, yang kini nyaris punah akibat perkawinan silang dengan pendatang.
Bahasa pasaran ini juga umum dipergunakan para pendatang dari luar Pulau Jawa.
Sebagi kota urban dan pendatang, seluruh suku di Indonesia ada di sini, dari Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan sebagainya, termasuk warga negara asing.
Para urban atau pendatang dari berbagai penjuru Indonesia, bercampur baur di pemukiman padat penduduk dan dipemukiman kumuh, serta komplek perumahan. Mereka, yang pendatang, jika tanpa sanak famili dan saudara, harus berjuang keras bersaing untuk mendapat tempat di kota ini.
Berbagai pekerjaan yang tidak biasa kita lihat, dapat kita jumpai. Misalkan saja, waktu itu ada ojek sepeda, yang ongkosnya bisa ditawar, atau jasa pengetikan pinggir jalan yang express.
Sebagai mana kota urban, maka salah satu persoalan utama yang dihadapi Jakarta adalah pemukiman. Banyak dari mereka yang pendatang sebenarnya bukan pula dari kalangan tidak mampu dan miskin.
Mereka ada pekerja kantoran swasta, pegawai pemerintah, dan pedagang. Ada yang datang musiman, saat lebaran dan musim tanam pulang ke kampung, dan kembali lagi. Para pendatang tinggal di pemukiman padat dan kumuh disebabkan sulit mencari tempat tinggal, dan tentu saja terjangkau, serta berdekatan dengan tempat kerja.
Di kawasan perdagangan Tanah Abang, dan Blok M, banyak terlihat warga kita dari daerah timur, yang berperawakan gelap dan rambut keriting, membuka łapak dagangan di depan deretan ruko, pinggir jalan, atau disekitar mall.
Secara fisik, bisa dibedakan dengan pendatang dari daerah tengah dan barat Indonesia.
Umumnya saudara kita dari timur itu berdagang beberapa pakaian, celana, baju, tali pinggang, serta dompet bermerek luar negri. Barang dagangan diletakkan di atas meja kecil. Jangan sekali-sekali menyentuh atau memegang barang dagangan itu. Sekali menyentuh atau memegang itu sama artinya barang buatan lokal tersebut harus dibeli.
Dari berbagai pemberitaan para pendatang juga banyak berbuat pertikaian, perselisihan, dan kriminal, serta berbagai bentuk persaingan social, ekonomi, dan bentrokan untuk menguasai suatu kawasa atau wilayah. Konflik sosial ini turut menghiasi wajah kota gemerlap itu.
Orang Jawa dan Sunda sudah berabad-abad di kota ini. Warga urban pendatang lainnya, dari berbagai suku di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, juga banyak berdatangan. Sebagai pelajar, mahasiswa, pekerja swasta, pegawai negeri, tentara, polisi, dan pedagang.
Pendatang dari luar Pulau Jawa kini juga banyak menjadi penduduk daerah-daerah di pulau yang penamaanya diberikan kompeni Belanda.
Selain persoalan kepadatan penduduk dan social, persoalan lain adalah lingkungan. Di sekitar Cileduk (saya lupa komplek perumahannya), tempat kami tinggal beberapa hari sebelum balik ke Riau, banjir tak separah yang diberitakan sekarang ini. Genangan air hujan cepat surut.
Tapi sekarang ini, banjir di Jakarta bisa sampai setinggi 5 meter (kompas.com, Sabtu, 8/2/2020). Banjir yang dapat mengenangi ruko setinggi dua lantai. Jika kabar itu benar, maka dipastikan ratusan, bahkan bisa puluhan ribu rumah terrendam.
Permasalah pendatang dan banjir sudah lama menjadi ketertakutan pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta, serta jadi alasan memindahkan Ibu Kota RI, dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang berjarak sekitar 1.900 kilo meter dari Jakarta, atau sekitar 2.000 km dari Kota Pekanbaru.
Pemindahan ibu kota Negara akan berdampak bagi daerah lain. Kalau naik pesawat Pekanbaru ke kota terdekat, Balikpapan, harga tiketnya Rp1,3 juta sampai Rp 4,6 juta. Sementara harga tiket pesawat dari Pekanbaru ke Jakarta berkisar Rp 600 ribu sampai Rp1,6 juta sekali terbang.
Jika mengunakan jalur darat akan lebih lama, berhari-hari. Naik kapal laut, dan kendaraan darat. Maka bagi pemerintah daerah di Sumatra, biaya transport ke ibu kota baru semakin tinggi.
Pembangunan ibu kota baru di Penajam, Kaltim, diperkirakan menelan biaya Rp466 triliun (detik.com, 26 Agustus 2019). Biaya itu setara dengan 40 tahun APBD Riau yang hanya Rp10,5 triliun pada 2020.
Dengan menggunakan ‘Mbah Google’, saya pun mencari-cari informasi berapa nilai jual objek pajak tanah di sekitar Bogor, perbatasan Jakarta – Banten.
Dari penelusuran itu, nilai jual objek pająk tanah bervariatif. Antara Rp1 miliar sampai Rp2 miliar per hektar.
Jika benar, itu artinya dengan modal Rp2 triliun pemerintah dapat membeli 1.000 ha lahan untuk pembangunan pusat perkantoran yang berjarak hanya beberapa puluh kilo meter saja dari Jakarta.
Pemerintah pun tak perlu membangun istana kepresidenan baru, patung – patung dan monumen, serta memindahkan ratusan ribu pegawai negeri, dan keamanan kekawasan perkantoran, disebabkan masih berdekatan dengan Jakarta. Dengan ditunjang sistim transportasi kereta api dan angkutan massal yang semakin canggih, menghubungkan Jakarta dan luar Jakarta, pastinya tidak sulit bekerja dan berkantor di ibu kota baru.
Biaya membangun kota baru di Penajem, Rp466 triliun itu bisa buat pelebaran jalan, rumah susun untuk penghuni pinggir kali, membangun dam, membeli pompa air besar untuk membuang air ke laut, dan penanggulangan masalah sosial di Jakarta.
Areal bakal ibu kota baru Indonesia itu juga akan lebih bermanfaat jika dijadikan sebagai kawasan industrial, yang tentunya akan banyak menyediakan lapangan kerja. Kawasan industri yang akan menopang ekonomi nasional, dan menambah devisa negara.***
Amran S Sos
Penulis adalah Wakil Ketua PWI Rokan Hilir