SumatraTimes.co.id – Pada Pemilu 1955 PNI keluar sebagai partai nomor wahid untuk pemilu parlemen. Partai berlambang banteng ini menang dengan persentase suara nasional 22,3 persen.
Unggul sedikit dari Masyumi di urutan kedua dengan persentase 20,9 persen. Di tempat ketiga ada NU dengan 18,4 persen dan PKI di posisi keempat dengan 16,4 persen.
Perolehan PKI jelas jadi kejutan, mengingat partai kiri itu babak belur usai Peristiwa Madiun 1948. PKI juga tak pernah dapat jatah posisi di kabinet maupun pemerintahan sejak legalitasnya dipulihkan pada 1950 hingga 1955. Tapi selama lima tahun itu mereka sukses mengembangkan kuantitas keanggotaan.
Posisi empat besar juga menunjukkan efektivitas kampanye mereka. Padahal partai-partai lain lebih dimudahkan karena punya petugas partai di pemerintahan. Tapi PKI memang tak terlalu ngoyo mengejar posisi-posisi penting di pemerintahan dan lebih fokus memperkuat basis mereka di perdesaan. Terbukti itu pilihan jitu.
Dengan taktik yang kurang lebih sama, PKI juga meraih sukses di Pemilu Daerah 1957-1958. Bahkan kali itu PKI berhasil mengungguli PNI.
Pemilu DPRD dilaksanakan secara bertahap antara Juni 1957 hingga Januari 1958. Di antara daerah yang melaksanakannya adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Sumatra Selatan, Riau, dan pada Januari 1958 di Kalimantan.
Menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy (2009), hasil-hasil Pemilu Daerah ini berarti penting bagi partai-partai politik. Perolehan pemilu daerah itu jadi bukti seberapa besar dan efektifnya kekuatan politik riil mereka di daerah. Hasil-hasil pemilu tersebut tentu dapat pula menjadi indikator tren politik nasional.
Meski demikian penting, kampanye-kampanye Pemilu Daerah justru mengalami kelesuan. Apalagi jika dibandingkan hingar bingar kampanye Pemilu 1955 sebelumnya. Kelesuan itu diperparah dengan pemberlakuan darurat militer sejak menghangatnya eskalasi konflik pusat-daerah pada awal tahun tersebut.
“Pembatasan kegiatan politik diberlakukan oleh otoritas militer di mana-mana. Di Jawa Timur, misalnya, setelah penundaan jadwal pemilu pemerintahan darurat militer membatasi kampanye hanya lima hari, dari 21 sampai 25 Juli. Agitasi-agitasi politik dan demonstrasi pun diawasi dengan ketat,” ungkap Lev (hlm. 106).
Umumnya aktivitas partai politik itu terbatas untuk memoles citra partai dan ideologinya. Kampanye juga jadi ajang membeber kejelekan partai lain, dan obral janji perbaikan ekonomi. Materinya tiada beda antara kota maupun desa. Bahkan, oleh sementara partai Pemilu Daerah ini dianggap bukan sesuatu yang mendesak.
“Pada akhirnya, pemilu daerah 1957 itu sendiri, tak seperti pemilu 1955, tidak menawarkan harapan bagi reformasi nasional. Sebaliknya, pemilu itu hanya tampak sebagai sebuah perhelatan biasa di tahun yang gaduh,” tulis Lev (hlm. 106).
Bagaimana pun juga selalu ada kekecualian dan itu adalah PKI. Ketika partai-partai lain seakan-akan kehilangan daya, PKI justru melejit. Dibandingkan dengan partai lain, kampanye PKI adalah yang paling efektif.
Umumnya masing-masing partai memaksimalkan kampanye di daerah di mana mereka mendapat hasil bagus saat Pemilu 1955. Masyumi fokus menggarap Jakarta dan Jawa Barat, NU di Jawa Timur, dan PNI di hampir seluruh Jawa meskipun dengan kampanye yang serampangan.
Tetapi, seperti yang ditengarai Lev, “Pimpinan-pimpinan nasional dari partai-partai itu berkonsentrasi pada politik Jakarta. Padahal sementara itu PKI bekerja giat di desa-desa dan kota-kota di seluruh negeri,” (hlm. 107).
Itulah kunci sukses PKI di Pemilu 1955 yang dibawa lagi pada 1957, memupuk massa di desa-desa. Selan itu, mereka punya organisasi yang bagus dan kekuatan finansial. Citra PKI juga kian mentereng karena mereka tak terkait dengan segala kegagalan dan korupsi partai pemerintah.
Kesuksesan PKI segera terlihat ketika pemilu DPRD pertama digelar di Jakarta pada 22 Juni. Ketakutan akan lonjakan suara PKI terbukti manakala tabulasi hasil pemilu diumumkan.
Masyumi menjadi kampiun di Jakarta tetapi persentase suaranya menurun sekira 4 persen dibandingkan perolehan Pemilu 1955. PKI berhasil menggeser PNI di peringkat kedua, sementara PNI sendiri jatuh ke peringkat tiga. NU setali tiga uang: jatuh dari peringkat tiga ke posisi empat.
Hasil akhir dari keseluruhan rangkaian pemilu DPRD pun tidak jauh dari perkiraan itu. Sebagaimana dicatat Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2009: 257), PKI secara mengesankan berhasil menambah perolehan suaranya hingga 27 persen dibanding perolehan pada 1955.
Berbanding terbalik dengan PKI, perolehan suara tiga partai besar lainnya justru turun. Fealy mencatat, suara Masyumi dan NU turun dengan persentase hampir sama, 7 persen. Sementara PNI justru terpuruk dengan persentase penurunan suara hingga 20,8 persen.
Setidaknya PKI mampu meraih suara mayoritas di 18 kota dan kabupaten. Kota dan kabupaten itu antara lain Kota Cirebon, Magelang, Salatiga, Solo, Semarang, Madiun, Blitar, Surabaya, Kabupaten Cirebon, Cilacap, Gunung Kidul, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Ngawi, Madiun, dan Magetan.
“Prestasi yang menonjol diperoleh dari Jawa Tengah. Di provinsi ini PKI menjadi pemenang dengan perolehan suara hampir tiga juta. Ini berarti menggeser posisi PNI pada pemilu 1955,” aku Siswoyo, anggota Sekretariat CC PKI, dalam Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri; Memoar Anggota Sekretariat CC PKI (2015).
Dan PNI, sebagaimana diperkirakan, memang jatuh. Lev mencatat, di Jawa Tengah dan Yogyakarta PNI hanya mampu menang mutlak di Kabupaten Purworejo. Setali tiga uang dengan perolehan di Jawa Timur.
Lebih-lebih lagi hasil di Jawa Barat. Masyumi masih mampu mempertahankan statusnya sebagai partai terkuat di Jawa Barat tanpa perbedaan mencolok dari hasil 1955. NU kehilangan sekira 75.000 suara dan PNI kehilangan hampir setengah juta.
Natsir Lahay, seorang kader PNI Jawa Timur, menjelaskan faktor-faktor kejatuhan PNI itu kepada Trompet Masjarakat edisi 13 Agustus 1957. Seperti dikutip Lev, menurut Natsir, biang kelemahan partainya adalah perpecahan internal. Natsir juga menuduh, “PNI terlalu jumawa dan malas, para pemimpinnya mabuk kekayaan, lalu mengabaikan para petani, melupakan agama, dan gagal melatih kader-kader muda,” kutip Lev (hlm. 117).
Bagi NU, hasil-hasil pemilu DPRD itu juga mengecewakan. Secara akumulatif suara NU mengalami penurunan sekira tujuh persen dibandingkan Pemilu 1955 di daerah yang sama. Namun, NU masih mampu menjadi partai terbesar kedua di Jawa karena penurunan suara PNI yang signifikan. Dan ini juga membawa kekhawatiran bagi NU karena wilayah basis pemilihnya terusik oleh PKI.
Kesuksesan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur bikin orang-orang NU rungsing. Pasalnya di dua wilayah ini NU punya massa besar tapi performanya tak memuaskan. Di Jawa Tengah, misalnya, PKI unggul atas NU dengan perolehan suara sebanyak lebih dari sejuta suara.
Tidak hanya NU, kekhawatiran serupa juga menghampiri Masyumi dan PNI. “Kemenangan ini menjadikan PKI sebagai partai terbesar di Jawa, sekaligus menimbulkan ketakutan terhadap kemungkinan PKI akan menjadi partai pemenang pada pemilu berikutnya (yang waktu itu direncanakan akan berlangsung pada September 1959),” tulis Fealy (hlm. 254).
Sesuai dengan ketentuan UU No. 1/1957, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terbentuk kemudian berwenang memilih kepala daerahnya masing-masing. Dengan penguasaan mayoritas di 18 kota dan kabupaten, calon-calon kepala daerah yang didukung PKI beroleh kemenangan hampir tanpa hambatan berarti. Bahkan di Surabaya calon kepala daerah dari PKI bisa menang dengan suara mutlak.
“Begitu pula untuk DPD, dengan sistem pemilihan menggunakan ‘perwakilan berimbang’, PKI mempunyai perwakilan mayoritas dalam DPD di 18 kota dan kabupaten tersebut. Di samping itu, di setiap DPD Tingkat I dan di hampir semua DPD Tingkat II terdapat anggota PKI,” terang Siswoyo dalam memoarnya.***
Sumber: tirto.id
Editor: amran