Oleh : Jong Adek
Bagansiapiapi – Masyarakat terlalu jauh di seret- seret oleh arus lagu “Hulu-Hilir” yang di nyanyikan politikus soal strategi merebut (suara) kekuasaan.
Lagu lima tahunan ini ternyata masih favorit dikalangan masyarakat, padahal biasanya usai momentum pilkada lagu ini hilang dalam pasaran, yang tampak hanyalah lagu pembagian kue APBD versus paduan suara lagu ketimpangan pembangunan dan ekonomi bergenre Marginal.
Naif nya lagi, lagu yang bernuansa ego zonasi ini makin jauh dari pembahasan pelestarian budaya dan tradisi lokal sebagai identitas Hulu-Hilir itu sendiri.
Kita selalu terjebak hanya persoalan politis yang terkandung pesan fanatik kedaerahan yang tak ayal bermunculan narasi tendensius sara yang bisa berpotensi konflik memicu keretakan.
Membahas Hulu-Hilir terkadang seakan mengungkit luka sebagian wilayah yang minim sentuhan pembangunan disaat wilayah lain tengah gencar-gencarnya pembangunan.
Sudah selayaknya masyarakat berpartisipasi aktif dalam memilih sosok pemimpin dengan cara pandang yang objektif dan rasional.
Turut berperan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan dengan menyuarakan serta mendorong pemerintah membangun dan memperbaiki infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas umum lainnya untuk mendukung mobilitas dan aksesibilitas secara adil dan merata semua wilayah Kabupaten Rokan Hilir sehingga dapat menikmati peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup.
Membahas Hulu dan Hilir harusnya membuka mata masyarakat secara sadar tentang kebutuhan, tentang realita bukan hanya terkungkung oleh ekspektasi, dengan menolak hipnotis gimik politik sesaat serta menghindari figur yang kebanyakan selebrasi ketimbang aksi nyata.
Pada intinya Hulu-Hilir hanya kombinasi untuk meraup suara, Hulu-Hilir bukanlah jaminan baik dan buruknya kebijakan yang akan ditelurkan. Hulu-Hilir hanyalah lagu lama tanpa makna.