Solo- Perubahan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya terkait proses penyelidikan dan penyidikan, memicu kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Hal ini disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Muhammad Rustamaji, SH. MH dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin 8 April 2025.
Muhammad Rustamaji menyoroti dalam draf revisi KUHAP yang saat ini dalam pembahasan di Komisi III DPR RI, pihak kepolisian diberikan otoritas untuk melakukan penangkapan secara langsung. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf a, yang menyebutkan bahwa atas perintah penyidik, tindakan seperti penangkapan, pelarangan bepergian, penggeledahan, hingga penahanan dapat dilakukan.
“Konsep tersebut dikenal dengan istilah tindakan polisional yang bersifat represif. Padahal, proses penegakan hukum berdiri di atas empat tahapan, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Revisi ini justru membuka ruang lebih besar bagi tindakan penahanan,” ujar Rustamaji.
Ia menambahkan, kewenangan baru yang memperbolehkan polisi menangkap secara langsung berpotensi disalahgunakan. “Semangat revisi KUHAP adalah membangun perlindungan hak asasi warga negara dari upaya abuse of power. Jangan ada kesan superior diberikan kepada Kepolisian dalam revisi KUHAP ini,” tegasnya.
Dia menuturkan, KUHAP mengatur tentang penyidikan, penyelidikan, penahanan, penangkapan, dan hal-hal lain yang menjadi prosedur dari tindak pidana.
Dalam KUHAP sebelumnya, prosedur penangkapan harus dilengkapi dengan surat resmi dan berita acara pemeriksaan (BAP), yang menjamin adanya standar dan akuntabilitas dalam proses hukum.
Pelanggaran terhadap hal ini dapat melanggar asas praduga tak bersalah, meskipun ada ruang untuk mengajukan praperadilan.
“Jangan sampai tindakan ini malah jadi alat kekuasaan yang sewenang-wenang. Wajar kalau masyarakat merasa resah. Bahkan, penyidik dengan pangkat rendah seperti Aiptu bisa melakukan penangkapan. Ini rawan,” ujarnya mengingatkan.
Rustamaji juga menyoroti perubahan status penyidik dalam revisi KUHAP, di mana penyidik dari Polri kini disebut sebagai ‘penyidik utama’. Perubahan ini menandakan adanya peningkatan peran Polri sebagai koordinator atas penyidik lain, termasuk dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS).
“Polri kini berada di atas dalam struktur penyidikan. Ini memberi kesan adanya monopoli proses investigasi oleh Polri, yang seharusnya dilakukan secara setara. Sebelumnya, penyidik hanya dibagi ke dalam kategori umum dan khusus, bukan utama,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dekan FH UNS menilai koordinasi horizontal antara Polri dan Kejaksaan perlu diperhatikan, mengingat Kejaksaan adalah satu-satunya institusi yang berwenang melakukan penuntutan.
Jika penyidik PNS berada di bawah kendali Polri, maka independensi mereka sebagai penegak hukum, misalnya dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda), bisa terganggu.
“Kalau PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dikendalikan polisi, maka sulit bagi mereka bersikap mandiri. Akibatnya, pertanggungjawaban pidana bisa menjadi tidak utuh,” paparnya.
Rustamaji berharap, DPR dan pemerintah bisa memberikan waktu untuk mendalami dan mengkaji kembali revisi KUHAP secara terbuka sebelum pengesahan dilakukan. Jangan sampai proses revisi berlangsung tergesa-gesa dan mengabaikan aspirasi masyarakat.
“Poin-poin seperti status penyidik utama dan kewenangan penahanan ini perlu dibahas lebih mendalam. Wajar bila masyarakat merasa cemas dan mempertanyakan arah revisi ini,” tegasnya.