SumatraTimes.co.id – Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) mengadakan Rapat Koordinasi Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan di Kabupaten Rohil Tahun 2020, Kamis,15 Oktober 2020, di ruang pertemuan Dinas KPP Pemkab Rohil di kawasan pusat Pemerintahan Pemkab Rohil di Bagan Centre, Batu Enam, Kamis, 15 Oktober 2020.
Rakoor dihadiri Sekretaris Disbun Provinsi Riau Supriyadi, sebagai nara sumber, serta Kabid Perkebunan Dinas KPP Pemkab Rohil Veri Ferdinan, mewakili Kadis KPP Rohil H Wan Rusli Syarif. Rakoor juga dihadiri camat dari 18 kecamatan se Rohil, dan staf yang mewakili kecamatan. Rakoor diisi dengan diskusi dan tanyajawab.
Dari rakoor yang berlangsung satu hari itu, terungkap bahwa Kasus Gangguan Usaha Perkebunan dan atau konflik perkebunan antara petani dengan perusahaan, dan petani dengan petani di Rohil pada 2020 ini secara umum hanya 5 kasus. Terbilang masih sedikit dibanding daerah lain di Riau.
Adapun gangguan usaha itu tediri dari tumpang tindih lahan masyarakat antara milik masyarakat dengan perusahaan dan antara masyarakat petani dengan masyarakat petani, pengaduan adanya penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan dan permintaan pembebasan lahan.
Sekretaris Disbun Provinsi Riau Supriyadi menyebutkan Gangguan Usaha Perkebunan terbanyak ada di Kabupaten Kampar dengan 16 kasus, seperti permasalahan Parit Gajah di HGU Perusahaan dan pembangunan kebun plasma untuk rakyat.
Di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) tercatat 13 kasus gangguan usaha seperti permintaan perkebunan kepada pengusaha tehadap konsep kerjasama dengan KUD, permasalahan konflik tanah dan pengrusakan tanaman kebun masyarakat, dan permintaan kompensasi dari perusahaan.
Di Pelalawan tercatat 12 kasus, yakni penyerobotan lahan masyarakat, dan tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan lahan kepada masyarakat seluas 2 ha per kepala keluarga.
Rokan Hulu (Rohul) juga ada 12 kasus yang bersumber dari konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan permintaan lahan perusahaan 20 persen milik masyarakat. Sementara Kabupaten Siak tercatat 7 kasus, seperti kasus perampasan kebun kelapa sawit, menungtut plasma kepada perusahaan dan beberapa perusahaan beljum mendapatkan perizinan.
Di Kabupaten Kuantan Singinggi (Kuansing) pada 2020 tercatat 5 kasus, dengan sumber konflik dazri permasalahan HGU perusahaan dan . kekurangan pembangunan kebun plasma masyarakat. Inhil yang sejak lama memiliki lahan perkebunan swasta dan masyarakat pada 2020 terjadi 2 kasus, dengan permasalahan kemitraan, pembagian bagi hasis perkebunan kelapa sawit antara inti dan plasma. Sementara di Bengkalis hanya satu kasus perihal tuntutan masyarakat terhadap lahan.
Kabid Perkebunan Dinas KPP Pemkab Rohil Veri Ferdinan, mengatakan sengketa perkebunan terdiri dari sengketa lahan dan non lahan. Adapun sengketa lahan, petama penggunaan tanah adat ulayat tanpa persetujuan pemuka adat/masyarakat.
Kedua penetapan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di Provinsi/Kabupaten/Kota belum selesai, ketiga Okupasi/penyerobotan lahan oleh masyarakat, keempat tumpang tindih lahan antara perkebunan dengan kawasan hutan, dan kelima tumpang tindih lahan perkebunan dengan kawasan pertambangan
Keenam tumpang tindih lahan karena izin baru, ketujuh proses penerbitan HGU tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, kelapan tuntutan pengembalian lahan masyarakat terhadap tanah yangsedang dalam proses perpanjangan HGU, kesembilan ganti rugi lahan dan tanam tumbuh belum selesai tetapi perusahaan sudah operasional, dan kesepuluh tanah masyarakat diambil alih perusahaan
Sedangkan sengketaha non lahan tapi berhubungan dengan lahan:
- Petani tidak mampu dan atau tidak ada keinginan membayar/melunasikredit.
- Penetapan harga pembelian produksi kebun plasma tidak sesuai ketentuan.
- Masyarakat menolak pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit karena dipengaruhi oleh LSM dan pihak ketiga lainnya (oknum).
- Penetapan plafond kredit kebun plasma tidak sesuai ketentuan.
- Penjarahan dan pencurian produksi.
- Petani ingin Ikut sebagai peserta plasma.
- Keterlambatan komversi kebun plasma.
- Perusahaan tidak secara rutin menyampaikan informasi sisa hutang kepada petani, dua belas
- Pelaku usaha perkebunan tidak memiliki perizinan usaha perkebunan.
- Wanprestasi ingkar janji kemitraan perusahaan dengan masyarakat.
- Penerbitan lzin Usaha Perkebunan yang belum/tidak sesuai ketentuan
- Pembangunan kebun melebihi luas areal perizinan
- Kebun plasma yang menjadi agunan kredit diperjual belikan oleh petani tanpa sepengetahuan perusahaan/bank
- Tuntutan masyarakat terhadap kebun plasma yang telah dijanjikan tidak dipenuhi perusahaan
- Masyarakat menuntut pengembalian tanah yang sudah dilakukanganti rugi oleh perusahaan
- Izin Lokasi sudah berakhir dan tidak dilakukan pembaharuan/perpanjangan
- Masyarakat menuntut lahan perusahaan untuk dimilikildikuasai16. Luas lahan plasma tidak sesuai dengan penetapan jumlah calonpetani peserta oleh Bupati
- Tuntutan masyarakat atas pembangunan kebun plasma minimal 20% dari areal yang diusahakan oleh perusahaan (Permentan No.98Th.2013)
- Lahan ditelantarkan oleh perusahaan
Pemprov Riau, kata Veri Ferdinan, sudah membentuk Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial yang ditetapkan berdasarkan SK Gubemur Riau No. Kpts.877VIW2019, Tanggal 12 Juli 2019.
Berdasarkan SK Gubri itu, jelasnya, susunan keanggotaan tim terdiri dari, Ketua Gubernur Riau, Wakil Ketua Wakil Gubernur, Setda Riau, Kapolda Riau, Danrem 031Wirabima, Kepala Kejati Riau, Kepala BIN Daerah Riau.
Sekretaris Kepala Badan Kesbangpol Riau, Wakil Sekretaris Karo Ops Polda Riau, Kasrem 031 Wirabima, dan Assintel Kejati Riau. Sedangkan Anggota terdiri dari dari Instansi vertikal di Provinsi Riau, Dinas/Badan/Biro terkait se Provinsi Riau (termasuk Dinas Perkebunan Provinsi Riau).
Pemerintah, terang Veri Ferdinan berkewajiban mempercepat penyelesaian permasalahan konflik melalui musyawarah untuk mufakat (win-win solution), penyelesaian ganti rugi lahan/ganti rugi tanam tumbuh, komunikasi intensif dan persuasif antara pihak yang bersengketa dengan instansi terkait.***
Pewarta: amran