Oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Rokanhilir – “Nikmat” hidup yang diberikan Allah kepada manusia sungguh tak terbilang banyaknya sebagaimana Firman Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nahl: 18)
Dan oleh hal yang demikian itulah dalam ayat yang lain Allah memerintahkan agar hamba-Nya yang beriman berkorban:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada-mu nikmat yang banyak.// Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.// Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)
Secara umum makna Kurban yang berasal dari kata “Qurb” adalah dekat dan berkaitan dengan hal itu menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali, maka perintah berkorban sebagaimana yang Allah tegaskan dalam surah Al-Kautsar yang telah dibacakan tadi ialah; berkorban atau mengorbankan sesuatu dalam upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah serta sekaligus berharap akan ridha-Nya. Dan yang demikian inilah yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.Al-Hajj: 37)
Kita tentu sudah mengetahui dan memakluminya, bahwa pelaksanaan ibadah kurban yang dilaksanakan setelah sholat Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, yakni tanggal 11 sampai 13 Dzulhijjah tersebut, adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dari apa yang telah diperintahkan Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam.
Bahwa sebagaimana riwayat yang telah sering kita dengar; bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam dan isterinya Hajar menantikan hadirnya seorang anak dalam kehidupan mereka. Kemudian dengan segala rahmat-Nya Allah anugerahi mereka seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Ismail. Akan tetapi setelah Ismail tumbuh besar dengan rasa cinta; kasih sayang Nabi Ibrahim dan Hajar, lalu Allah perintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk menjadikan Ismail sebagai korban yang harus disembelih sendiri oleh Ibrahim, yang dalam hal ini Allah nukilkan di dalam Al-Qur’an dengan Firman-Nya:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 102)
Untuk kita pahami, bahwa pada hakikatnya perintah berkorban yang Allah berikan kepada Nabiyallah Ibrahim ‘alaihis-salam tersebut adalah bertujuan untuk membuang atau menyembelih “sifat ananiyah” atau sifat egois yang ada di dalam diri manusia; khususnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Sebab hanya dengan membuang sifat egois atau mementingkan diri sendiri itulah seseorang baru bisa melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dengan sebaik mungkin; baik dalam yang berkaitan dengan “hablum-minallah” atau hubungannya dengan Allah maupun “hablum-minannaas”, yakni hubungannya dengan sesama manusia dan alam semesta.
Dan hal ini dapat kita simak paling tidak dalam 2(dua) pelajaran atau hikmah berharga yang dapat kita jadikan sebagai acuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.
Yang pertama adalah totalitas seorang hamba dalam melaksanakan dan mendahulukan perintah Allah dari pada kepentingan pribadinya: Bahwa bagaimanapun juga; kecuali dalam keadaan tertentu yang dibenarkan oleh syari’at Allah dan Rasul-Nya, maka kepentingan atau perintah Allah harus dan wajib didahulukan daripada hal-hal yang bersifat pribadi.
Dan hal ini tergambar atau tercermin dari sikap keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam; Bahwa tatkala perintah Allah untuk menyembelih Ismail sampai kepada mereka, maka baik Nabi Ibrahim maupun istri beliau yang bernama Hajar dan putra mereka Ismail ‘alaihis-salam, langsung melepas semua ego atau kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi, dan menjadikan perintah Allah sebagai prioritas utama yang harus dilaksanakan.
Sebab pada hakikatnya kita memang diciptakan untuk mengabdi dan menyembah kepada Allah sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan dengan Firman-Nya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.”(Q.S. Adz-Dzariyaat: 56).
Artinya adalah, bahwa ketika Allah menghendaki kita melakukan sesuatu yang diperintahkan-Nya, maka adalah suatu kepatutan, bahkan menjadi wajib bagi kita untuk mendahulukan perintah Allah tersebut dan menomor duakan apa yang menjadi kepentingan diri sendiri maupun kepentingan keluarga dan kelompok serta golongan kita.
Disadari atau tidak; diakui atau tidak; sekarang ini banyak di antara kita; bahkan mungkin salah satu di antaranya adalah diri kita sendiri; lebih cenderung untuk mendahulukan kepentingan pribadi daripada sesegera mungkin melaksanakan perintah Allah.
Contoh yang paling sederhana adalah dalam mendirikan sholat misalnya. Bahwa tanpa ada “rukhsah” atau keringanan yang dibenarkan oleh syari’at ayau hokum yang berlaku, masih banyak di antara kita yang menomor duakan kewajiban tersebut dan menomor satukan pekerjaan atau kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.
Padahal kita yakin dan sadar sepenuhnya, bahwa Allah jualah yang meng-hidupkan dan yang akan mematikan kita bila-bila saja Allah menghendakinya. Dan tidak ada satupun makhluk atau kepentingan duniawi kita yang sanggup mencegah tatkala Malaikat Maut datang menjemput diri kita.
Hikmah kedua yang patut kita pahami adalah; Bahwa penyembelihan hewan qurban yang akan kita laksanakan setelah sholat Idul Adha ini hanyalah sebuah symbol dari kewajiban kita berkorban atau mengorbankan sesuatu; entah itu harta benda; tenaga dan pikiran serta waktu yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk kepentingan sosial yang lebih besar di antara sesama kita dalam upaya tolong menolong dalam berbuat kebajikan dan ketakwaan kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan dengan Firman-Nya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam me-ngerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2)
Sikap tolong menolong dalam berbuat kebajikan dalam rangka bertakwa kepada Allah, adalah sesuatu yang mutlak atau yang wajib kita lakukan. Sebab di dunia yang fana ini kita tidaklah hidup sendiri; dan dalam masalah apapun kita perlu bantuan orang lain dan orang lainpun berharap pada bantuan kita berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh tiap-tiap diri.
Dan contoh semacam inilah yang ditampakkan Allah dalam riwayat pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam.
Sekarang ini kita sama-sama berada dalam tahun-tahun yang sulit, dan berkaitan dengan masalah berkorban atau pengorbanan tersebut; maka tentulah sangat-sangat diperlukan. Kita wajib menyembelih sifat “ananiyah” atau sifat ego yang ada di dalam diri kita dan menumbuh suburkan sifat “ta’awwun” atau sifat tolong menolong sebagaimana yang Allah perintahkan.
Sebab jika kita tidak mau peduli dengan orang lain; sementara mereka juga tidak peduli dengan keadaan kita, maka kemungkinan besar akan muncul kekacauan di sana-sini yang membuat hidup kita tidak lagi men-jadi nyaman dan aman. Sebagai makhluk sosial, kita semua berkewajiban untuk saling memperhatikan dan saling membantu.
Sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke 73 negara yang kita cintai ini, maka berkaitan dengan sifat “ta’awwun” atau tolong menolong yang baik itu, salah satu contohnya mungkin kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dlakukan oleh para pendahulu kita dalam hal merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri yang kita cintai ini.
Bahwa hanya dengan kerja sama atau tolong menolonglah para pahlawan dan pendahulu kita dapat merebut kemerdekaan dan membebaskan diri dari penjajahan. Jika tidak demikian halnya tentulah sampai saat ini kita belum tentu dapat merasakan manisnya hidup dalam alam kemerdekaan suatu bangsa.
Semoga dengan semangat berkorban yang kembali kita kobarkan di tahun 1439 H ini, kita mampu berbuat lebih banyak untuk meningkatkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah, serta untuk kepentingan bangsa dan negara yang kita cintai. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 12 Dzulhijjah 1439 H / 24 Agustus 2018.