RokanHilir – Apkasindo Sarankan Pemerintah dan Pengusaha supaya tetap menggandeng Petani Kelapa Sawit melalui asosiasinya untuk duduk bersama sebelum mengambil suatu kebijakan.
Demikian di sampaikan Apkasindo DPW Riau Gulat ME.Manurung Setelah mengikuti acara di Zurich Swiss, tak hanya sampai disitu, tim Delegasi Indoensia berpindah ke negara Spanyol, yaitu di Kota Madrid untuk acara Konferensi European Palm Oil Aliance (EPOA).
Konferensi yang diinisiasi oleh European Palm Oil Aliance (EPOA) ini mengambil tema “How Sustainable Palm Oil Contributes to the UN Sustainable Development Goals” yang dilaksanakan tanggal 4 Oktober 2018 lalu kiranya mampu mensejahterakan para petani Sawit Indonesia.
Menurut Peniliti Fisiologi Sawit ini, tak Hanya Mendag namun pembicara lain yang mumpuni di bidangnya melalui konferasi ini seperti Menteri Industri Utama Malaysia Teresa Koh Sum Sim, Mantan Presiden Kolombia Alvaro Uribe Velez, dan Plant Production and Protection Officer of The FAO Regional Office for Europe and Central Asia Viliami Fakava juga berpartisipasi memberikan pandangan positif tentang pertanian sawit.
Gulat Manurung menjelaskan bahwa pertemuan di Madrid memang lebih fokus kepada Kelapa Sawit, sehingga pembahasannya lebih mendalam.
Banyak hal yang terungkap dari EPOC ini, khususnya saat diskusi one by one, dimana pertanyaanya sebenarnya sangat sederhana, bagaimana khususnya Petani Kelapa Sawit dapat berperan dalam menjaga keberlangsungan lingkungan dan sejauhmana Petani bisa mengikuti ISPO.
“Pertanyaan ke Saya hanya mutar-mutar disitu saja, sebab mitra diskusi saya sama sekali tidak mengetahui tentang aspek agronomis kelapa sawit. Demikian pemaparan Ketua DPW APKASINDO Riau Gulat ME. Manurung saat di konfirmasi Selasa ( 16/10).
Khusus untuk keberlangsungan lingkungan kata Gulat, Perwakilan dari Apkasindo hanya memberi ilustrasi bahwa sawit di replanting sekali dalam 25-30 tahun.
Sementara tanaman semusim penghasil minyak nabati seperti kedelai, bunga matahari, sorgum, jagung dan tanaman sejenis dipanen (replanting) antara 3-6 bulan, mana yang lebih akrab lingkungan, tentu jauh lebih baik kelapa sawit, dan ternyata mitra diskusi saya tidak mengetahui bahwa sawit di replanting setelah umur 25-30 tahun.
Misteri lain yang saya petik dari pertemuan di Zurich dan Madrid paparnya lagi bahwa mitra bisnis disektor kelapa sawit seakan tidak percaya bahwa 41,2% perkebunan kelapa sawit dikelola oleh Petani Swadaya.
Hal ini terungkap saat sesi diskusi pada acara EPOC di Madrid maupun di Zurich, mereka sangat mengapresiasi luasnya perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh Petani Swadaya Dan harapan kedepan dari Pertemuan EPOC ini.
Melalui perwakilan pengusaha eropa, menginginkan petani lebih dominan dalam usaha agrobisnis kelapa sawit di Indonesia dan mitra diskusi saya sangat terkejut karena tidak satupun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimiliki oleh Petani meskipun hampir setengah perkebunan sawit di Indonesia diusahakan oleh Petani Swadaya.
” Tawaran yang menarik kepada Saya sebagai Perwakilan Petani Sawit adalah supaya Petani Kelapa Sawit segera move on menjadi Petani CPO dengan membangun PKS Holding Smallholder ujarnya.
Jika Petani Sawit sudah memiliki PKS sendiri, mereka mau berbinis langsung dengan konsep B to B. Ini berita baik sekaligus penambah percaya diri Petani Sawit bahwa Petani sawit sangat dihormati di Eropa.
Gulat menyimpulkan Pesan penting yang dapat diambil dari pertemuan di dua negara ini adalah pertama Petani Kelapa Sawit sangat dikedepankan.
Tidak mungkin hanya Pengusaha, jika hanya pengusaha mungkin sudah lama tinggal kenangan industri kelapa sawit di Indonesia.
Kedua tambah Gulat tuduhan tentang sawit adalah perusak lingkungan, HAM dan Deforestasi adalah murni persaingan bisnis (politik perdagangan), dimana masyarakat eropa mempunyai Produk yang sama yaitu Minyak Nabati, di Indonesia Minyak Sawit, dan perbandingan efisiensi produktivitas lahannya adalah 1:10.
Artinya untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati dari kacangan-kacangan/sejenis dibutuhkan 10 ha lahan, sedangkan untuk menghasilkan 1 ton CPO cukup hanya 1 ha lahan. Sebutnya menjelaskan.
Perbandingan ini membuat harga CPO jauh lebih murah dibanding minyak nabati yang berasal dari kacang-kacangan atau yang sejenis, siapapun pasti memahami matematika sederhana ini.
Kemudian bilangnya kepada sumatratimes.com Selasa (16/06). Politik dagang ini mempunyai pesan khusus, yaitu bagaimana Eropa bisa membeli CPO dengan harga murah, ya dengan macam-macam caralah seperti yg selama ini selalu terjadi.
Gulat bertanya, Pernahkah terpikir oleh kita bahwa ternyata setengah dari semua produk yang kita beli di Super Market berasal dari minyak kelapa sawit ?.
Inilah yang membuat mengapa kelapa sawit sangat mengganggu negara penghasil minyak nabati dari kacangan/sayuran/sejenis.
Ketiga terang nya lagi, Indonesia harus lebih kencang dalam meneliti dan memproduksi produk turunan dari CPO, karena issue-issue negatif tentang sawit tidak akan pernah hilang sepanjang sawit masih lebih efisen dibanding sumber bahan minyak nabati lainnya.
Semakin lama issue negatif sawit akan semakin meningkat seiring bertambahnya kebutuhan CPO dunia.
Untuk itu Petani sawit dan pengusaha harus kompak menghadapi tekanan-tekanan Eropa ini, tidak bisa hanya Pengusaha atau sebaliknya, tapi harus bersama-sama didukung oleh Pemerintah.
” Jadi sekali lagi saya sampaikan bahwa Pengusaha Sawit khususnya Pihak PKS supaya lebih bijak cara memandang Petani Sawit, seperti cara menetapkan harga TBS Petani Mandiri khususnya, tidak semena-semena lagi karena persoalan di Eropa melunak dan sangat terbantu dengan 41,2% petani sawit.
Bayangin contoh Gulat jika petani kompak mengganti sawitnya dengan tanaman lain, kan modar sendiri Pengusaha menghadapi persoalan tekanan-tekanan dari negara Importir CPO.
Jadi sejujurnya Tekanan Eropa dan Importir CPO lainnya disatu sisi ada baiknya, yaitu sebagai evaluasi diri kepada semua pelaku usaha sawit (Petani dan Korporasi) termasuk pemerintah.
Supaya lebih baik kedepan sebutnya lagi coba kalau tidak ada tekanan dari Importir CPO, rasanya Inpres Nomor 8 (dengan 20 % lahan wajib dikerjasamakan dengan Masyarakat sekitarnya) dan PP 86 (lahan yang masuk kawasan dapat diajukan pelepasan dengan Program TORA) mungkin tidak akan pernah terbit.
Jurus jitu Pemerintah ini sangat diapresiasi Paguyupan Petani Sawit, seperti Apkasindo, rasanya demikian juga dengan teman-teman Asosiasi SAMADE, SPKS dan ASPEK PIR.
Kemudian Tidak ada gunanya kita bercerita kepada dunia bahwa hutan Indonesia 30-40%, tapi faktanya lebih kecil dari angka tersebut, kita harus jujur.
Dan sebenarnya justru ini salah satu yang menjadi biang kerok dari issue lingkungan, yaitu masih banyaknya kebun sawit dalam kawasan hutan, jika tidak segera di TORA kan maka issue kampanye negatif akan selalu berkumandang dengan tuduhan rantai pasok TBS yang tidak clear and clean, ujar Gulat.
Terkhusus untuk Inpres Nomor 8 Tahun 2018 jangan hanya memandang Moratorium saja tapi lihat sisi baiknya jauh lebih penting, demikian juga dengan PP Nomor 86 Tahun 2018, ini merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan sawit yang masih terjebak dalam kawasan hutan.
Harapan Apkasindo, supaya pihak-pihak yang ditugaskan oleh Presiden untuk menyelesaikan persoalan Reforma Agraria disektor Perkebunan Kelapa Sawit yang masih terjebak dalam kawasan hutan, supaya membuka diri dan mengedepankan Masyarakat Petani Sawit.
Karena jika program TORA ini tidak sampai ke masyarakat Petani yang masih dalam kawasan hutan, maka akan sia-sia semuanya.
Jelas sekali Pak Menko Perekonomian beberapa kali menyampaikan Pesan secara Halus maupun Keras supaya semua pihak bahu membahu melaksanakan Program TORA ini.
Saat Seminar Nasional bulan September yang lalu dengan Thema Koloborasi NGO dengan APKASINDO untuk meningkatkan kesejahteraan Pekebun, teman-teman NGO juga setuju ikut memperjuangkan Program TORA jika untuk kepentingan Masyarakat Pekebun.
Mari Pak Kepala Desa, Camat, Bupati sampai Gubernur membantu Petani dan Koperasi Perkebunan yang kebunnya masih terjebak dalam kawasan Hutan, tanpa Rekomendasi dari Kepala Desa, Camat, Bupati dan Gubernur maka Hak Pekebun yang masih terjebak dalam kawasan hutan tidak akan tergapai. Himbaunya agar semua pihak bersama para petani saling bahu membahu
Karena tanpa Rekomendasi tersebut, Tim Verifikasi dari KLHK tidak akan pernah turun kelapangan sebagai tahapan Pengusulan TORA sebagaimana diamanahkan dalam Regulasi Inpres dan PP tersebut.
Pembiaran Kebun Sawit dalam kawasan hutan, akan menjadi Amunisi Abadi untuk Kampanye Negatif Sawit Indonesia.
Secara khusus APKASINDO menyampaikan supaya pihak berwenang (Polisi, Polhut dan GAKUM) supaya menahan diri, karena Presiden sudah memberi ruang kepada Pekebun yang terlanjur berkebun atau berusaha dalam kawasan hutan untuk dilegalkan melalui Program TORA.
Surat Permohonan ini juga sudah dilayangkan Pengurus Pusat DPP-APKASINDO kepada Bapak Presiden demi suksesnya Program-Program sektor Perkebunan Kelapa Sawit yang sudah digulirkan oleh Pemerintah. Tandasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Arlinda menyampaikan pelaku usaha Indonesia yang turut serta dalam misi dagang di Swiss kali ini datang dari sektor kelapa sawit, produk tekstil dan garmen, kopi, perhiasan, produk kertas, cangkir roti dan serbet kertas, serta topi koki higienis, jadi tidak hanya terfokus ke industri kelapa sawit.
“Misi dagang menjadi salah satu cara penetrasi pasar ekspor yang dapat meningkatkan volume perdagangan lebih cepat karena para pelaku usaha dapat bertemu dengan mitranya secara langsung,” ungkap Arlinda menguatkan. (R1)