oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
“Hai orang-orang yang beriman, pelihara-lah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S.At-Tahrim: 6)
Dalam risalah tafsirnya Syaikh Abdullah Al-Ghazali mengatakan, bahwa salah satu makna dari ayat ke 6 surah At-Tahrim di atas ialah: Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada setiap keluarga orang yang beriman agar hidup dalam Islam atau hendaknya menjadi keluarga muslim yang “kaffah” sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, ma-suklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S.Al-Baqarah: 208)
Akan tetapi kalau kita simak kondisi di zaman ini, maka sesunguhnya banyak kaum muslimin yang menjadikan Islam hanya sebagai status keagamaan dan tidak memfungsikannya sebagai sistem nilai yang membentuk cara pandang, kehendak dan perilaku di dalam kehidupan mereka.
Nilai-nilai agama dalam kehidupan umat Islam di masa kini, tidak kurang dan tidak lebih hanyalah yang berkaitan dengan masalah-masalah ritual (ibadah yang wajib) dan sebagai bagian dari nilai-nilai seremonial untuk acara-acara tertentu. Dalam hal ini hilangnya komitmen dan keterikatan umat terhadap syariat Allah sesungguhnya berawal dari rusaknya sistem nilai yang ada di dalam keluarga. Sebab bagaimanapun juga, keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat adalah merupakan pabrik pencetak generasi Islami dalam artian yang “kaffah”.
Dan pada kenyataannya, banyak keluarga muslim yang tidak melaksanakan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan baik dan benar. Jadi kalau hari ini kita mendapati banyak pemimpin yang zalim dan tidak amanah, pedagang yang tidak jujur, pendidik yang berakhlak buruk, pemuda yang menyimpang, kaum wanita yang mengumbar aurat, serta berbagai bentuk penyimpangan dalam aqidah dan ibadah, itu merupakan buah yang diperoleh karena telah hilangnya nilai-nilai Islam dalam banyak keluarga muslim.
Besarnya ihtimam (perhatian) Islam terhadap kehidupan keluarga menunjukkan pentingnya posisi dan peran keluarga. Sebab terciptanya masyarakat yang Islami bermula dari kehidupan keluarga yang Islami pula.
Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah setiap muslim yang hendak membentuk sebuah rumah tangga hendaknya memahami dengan benar tujuan sesungguhnya untuk apa keluarga dibentuk. Ia juga harus mengetahui bagaimana proses pembentukan keluarga dilakukan, termasuk bagaimana memilih pasangan hidup yang akan menemaninya mengarungi kehidupan berkeluarga.
Disamping itu kita acap pula salah dalam memahami apa sesungguhnya makna keluarga di dalam islam. Banyak yang beranggapan, bahwa yang dinamakan keluarga itu adalah keluarga inti yang terdiri atas suami; istri dan anak-anak yang biasanya hidup bersama dalam suatu tempat tinggal, padahal menurut Syaikh Abdul Al ‘Ati pengertian keluarga tidaklah dibatasi oleh kerangka tempat tinggal dan dengan jumlah tertentu. Menurut Abdullah al ‘Ati yang disebut sebagai anggota sebuah keluarga tidak harus selalu menempati tempat tinggal yang sama dan terbatas pada tatanan ayah; ibu dan anak.
Menurut Al ‘Ati dalam bukunya “The Family Structure in Islam” definisi keluarga dilihat secara operasional adalah: “Suatu struktur yang bersifat khusus yang satu sama lain mempunyai ikatan khusus, baik lewat hubungan darah atau pernikahan.” Perikatan itu membawa pengaruh pada adanya rasa “saling berharap” (mutual expectation) yang sesuai dengan ajaran agama, dikukuhkan dengan kekuatan hukum serta secara individual saling mempunyai ikatan batin.”
Jadi dengan demikian, maka dalam rangka mengaplikasikan perintah Allah SWT sebagaimana yang tersirat dalam ayat 6 surah At-Tahrim di atas seseorang tidaklah seharusnya membatasi diri dalam tatanan keluarga yang hanya terdiri dari ayah; ibu dan anak. Akan tetapi mencakup semua anggota keluarga yang memiliki ikatan khusus sebagaimana yan dimaksudkan oleh Abdullah Al ‘Ati.
Sehingga dengan demikian upaya maksimal untu menjadikan ahli keluarganya sebagai keluarga muslim dapat dicapai, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat muslim yan sesuai dengan ketentuan yang telah disyariat kan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan sebuah keluarga muslim adalah keluarga yang mengetahui hak-hak Allah SWT dan menunaikannya, mengetahui hak-hak masing-masing suami istri dan memenuhinya, melaksanakan pendidikan anak dengan pendidikan Islam, menta’ati hukum-hukum Allah SWT, memurnikan tauhid kepada-Nya dan menjauhi serta memerangi berbagai bentuk kemusyrikan.
Secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa keluarga muslim adalah keluarga yang meletakkan segala aktivitas pembentukan keluarganya sesuai dengan syari’at Islam yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Keluarga tersebut dibangun di atas aqidah yang benar dan semangat untuk beribadah kepada Allah serta semangat untuk menghidupkan syiar dan adab-adab Islam Islam sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Ikatan keluarga yang dibentuk oleh seorang muslim dan muslimah merupakan ikatan yang penuh dengan keberkahan, yang dengannya keduanya saling menghalalkan satu dengan lainnya.
Dengannya pula keduanya memulai sebuah rihlah thawilah (perjalanan panjang), dalam suasana saling mencintai, menyayangi dan menghargai, yang akan melahirkan rasa tentram dan ketenangan serta kebahagiaan hidup dalam suasana saling memahami, tolong-menolong dan nasihat-menasehati sebagai inti labinah (batu bata) yang kokoh bagi terbentuknya masyarakat muslim. Wallahua’lam. Bagansiapiapi, 9 Ramadhan 1439 H / 25 Mei 2018.