JAKARTA – Di Bali, beberapa hari sebelum Hari Raya Nyepi, masyarakat Bali melaksanakan ritual Melasti. Di antara banyaknya peserta yang datang, terlihat beberapa orang menenteng keris kas Bali, sambil sesekali mengatur jalannya upacara.
Mereka adalah polisi adat Bali, atau dikenal dengan sebutan Pecalang.
Mengutip penjelasan dari Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Karangasem, kata pecalang berasal dari kata ‘calang’, yang diambil dari kata ‘celang’, yang berarti waspada.
Pecalang memiliki tugas untuk mengamankan dan menertibkan desa, baik dalam keseharian maupun dalam hubungannya dengan penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan.
Ibaratnya sebagai petugas keamanan desa adat. Pecalang telah terbukti ampuh mengamankan jalannya upacara-upacara yang berlangsung di desa adat. Bahkan secara luas mampu mengamankan kegiatan – kegiatan yang berhubungan dengan khalayak ramai.
Ciri kas Pencalang di Bali, adalah memakai kain kotak-kotak dengan keris terhunus dipinggangnya. Memakai pakaian adat Bali lengkap, udeng dikepala (tanjak), kemeja putih, dan sering memakai rompi bertuliskan PECALANG DESA ADAT.
Pecalang sering juga disebut polisi tradisional Bali. Tugasnya mengamankan suatu kegiatan yang berkaitan dengan adat, dan agama, seperti: upacara keagamaan, prosesi ngaben, prosesi pernikahan, dll yang berkaitan dengan upacara adat di Bali.
Dengan bergesernya jaman, Pecalang dimasa kini hampir tidak lagi identik dengan badan yang kekar ataupun berwajah seram.
Dari segi pakaian yang dikenakannya pun sudah mulai mengikuti perkembangan jaman. Atasan kemeja berwarna gelap, dilengkapi dengan jaket hijau metalik yang biasanya digunakan Polisi Lalu Lintas, dan keris yang dahulunya kerap disandang, berganti dengan pentungan yang dapat dinyalakan sebagai tanda bagi para pengendara di jalan raya.
Tidak jarang, perangkat komunikasi handy talkie pun disematkan di pinggang untuk mempermudah koordinasi jarak jauh.
Secara umum tugas mereka tidak ada beda dengan polisi biasa, seperti mengatur lalu lintas di sekitar lokasi upacara, mengawal prosesi ngaben sampai ke kuburan. Tapi dalam kegiatannya, pecalang berkoordinasi dengan pihak Polri.
Dari sini pecalang mulai naik daun, disetiap kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak, pecalang akan turut dilibatkan secara aktif demi menjaga keamanan dan kelancaran kegiatan tersebut. Hampir setiap acara yang berkaitan dengan adat.
Menjadi pecalang adalah suatu pengabdian kepada masyarakat. Mereka tidak mendapatkan gaji. Tapi sebagai kompensasi mereka dibebaskan dari segala hal yang berkaitan dengan kewajiban warga.
Mereka tidak kena iuran di banjar, tidak wajib ikut gotong royong dan lain – lain. Tapi konsekuensinya, mereka harus siap jika sewaktu-waktu harus bertugas kalau ada suatu kegiatan adat di desa setempat. Pecalang biasanya dipilih oleh warga banjar dengan masa tugas satu tahun.
Belakangan ini ada beberapa peristiwa yang merefleksikan adanya pecalang yang melenceng dari fungsi dan tugasnya. Pada beberapa masa yang lalu pernah pecalang memperlihatkan sikap arogansi, sok jagoan, dan sok berani. Mungkin ini disebabkan banyaknya pemuda yang terlibat sebagai pecalang, dan tanpa ada proses seleksi.
Seleksi yang dimaksud tidak harus seleksi secara formal cukup dengan seleksi informal, kepala desa atau masyarakat cukup memperhatikan pemuda yang kira – kira memiliki mental yang baik dan mampu melayani masyarakat, sehingga pecalang dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat sekitar, dan mampu berkomunikasi dengan baik dan ramah kepada masyarakat lain, sehingga secara tidak langsung kita mempertahankan kesan masyarakat Bali yang ramah di tingkat internasional.
Dikutip dari CNNIndonesia.com, seorang pecalang dari Desa Adat Canggu, Kabupaten Badung, I Kadek Nanduryawan, bercerita kepada CNNIndonesia.com tentang pengalamannya menjadi Pecalang selama lebih dari seperempat abad.
Menurutnya wisatawan domestik dan mancanegara yang ‘bandel’ saat Hari Raya Nyepi itu hal yang biasa. Hal itu disebbakna belum adanya aturan yang memerintahkan untuk memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan Catur Brata Penyepian.
Catur Brata Penyepian berupa berdiam diri di dalam rumah sambil melaksanakan empat pantangan; tidak melakukan kegiatan (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (amati lelanguan).
“Tapi kalau warga Bali yang melanggar, kami berikan sanksi. Sebab itu sudah kami anggap keblinger (keterlaluan),” kata Kadek Nanduryawan, saat dihubungi CNNIndonesia.com lewat telepon pada Kamis (15/3).
Pria yang saat ini membawahi 30 orang pecalang di Desa Adat Canggu ini menilai, jika masih ada wisatawan yang keluyuran di jalanan saat Nyepi, kesalahan sebenarnya ada pada pengelola penginapan.
Pasalnya, pihaknya sudah memberi surat edaran kepada pengelola penginapan terkait Catur Brata Penyepian. Minimal, wisatawan bisa berkegiatan di dalam komplek penginapan saja.
Namun, Kadek Nanduryawan, menambahkan ada pengecualian bagi wisatawan yang memiliki anak kecil, wisatawan lansia, dan yang sedang sakit.
Dispensasi itu terkait menyalakan lampu atau penerangan, meski cahayanya hanya boleh remang-remang.
Sebagai Pecalang, sudah pasti Kadek Nanduryawan, tak menjalani Catur Brata Penyepian bersama keluarganya di rumah. Ia mengaku sudah ikhlas mengenai kondisinya.
Tak berdiam diri di rumah bukan berarti ia bisa santai di jalanan. Justru ia harus tetap fokus disebabkan banyak warga dan wisatawan di Bali yang masih nekat keluar rumah saat Nyepi.
Khususnya wisatawan asing, dikatakannya paling sering ‘kucing-kucingan’ dengan Pecalang. Bahkan mereka nekat datang ke upacara adat yang tertutup, hanya untuk sekadar mengambil foto atau video.
“Buat saya, wisatawan asing sekarang itu sudah kurang ajar. Mereka sering mengkadali aturan dan rambu-rambu yang sudah tertulis,” kata Kadek Nanduryawan.
Menjadi Pecalang adalah murni tugas sosial. Kadek Nanduryawan, tidak pernah bercita-cita menjadi Pecalang, tapi ia juga tidak bisa menolak mandat yang diberikan oleh warga ini. Baginya, menjadi Pecalang adalah sebuah kehormatan.
Terkait faktor ekonomi, menurut Kadek Nanduryawan, Pecalang tidak mendapat gaji apa lagi fasilitas seperti asuransi kesehatan. Pada hal Pecalang secara tidak langsung dituntut untuk selalu fit dalam menjalankan tugasnya.
Lagi-lagi ikhlas menjadi jawaban Kadek Nanduryawan, dan rekan-rekannya sesama Pecalang yang lain.
“Banyak teman yang harus mengatur jadwal kerja kantorannya, bahkan sampai dimarahi atasannya karena ia harus menjalankan tugas menjadi Pecalang,” ucap Kadek.
Saat ini, Kadek Nanduryawan, melanjutkan baru Bupati Badung yang sudah memberikan fasilitas berupa kendaran operasional untuk Pecalang. Ia berharap semoga ke depannya pemimpin daerah, dan pusat yang memerhatikan kondisi Pecalang.
Kadek Nanduryawan menjelaskan Pecalang sebenarnya tidak lebih ditakuti dari pada polisi. Tapi mungkin lebih disegani, khususnya oleh para wisatawan mancanegara, sebab kostumnya yang tradisional. Berbeda dengan polisi atau tentara yang seragamnya hampir sama di semua negara.
“Banyak turis asing yang bertanya tentang apa itu Pecalang, tugasnya apa saja, kepada kami. Kemudian setelah mereka tahu bahwa kami tidak digaji, dipilih oleh warga, menjaga kesakralan ritual agama, dan sebagainya, maka mereka semakin segan,” pungkas Kadek sambil tertawa.
Editor : Amran