SumatraTumes.co.id – Anggota Dewan Kehormatan Pengyelengara Pemilihan Umum (DKPP) Dr Alfitra Salamm tampil sebagai pembicara utama pada acara Potensi Pelanggaran Administras, Pidana dan Etik Dalam Pemilu Kepala Daerah Rohil Tahun 2020, yang digagas Bawaslu Rohil, Ahad, 11 Oktober 2020.
Alfitra Salamm menyampaikan berbagai pesan kepada para penyelengara Pemilukada 2020 di Rohil. Beberapa hal yang disampaikan Dr Alfitra Salamm adalah mengenai penyebaran corona virus di masa pelaksanaan tahapan Pilkada 2020. Ia menginggatkan kepada penyelenggara Pilkada agar melakukan pencegahan secara tegas jika ditemukan penyelengaraan terutama pada saat kampanye. Apalagi, terangnya, pelaksanaan tahapan Pilkada saat ini dituding sebagai penyebab tingginya Covid-19 di Indonesia, termasuk di Rohil.
“Lakukan pencegahan agar tidak terjadi penyebaran covid-19 di Pilkada. Kalau sudah mencegah, berati sumber covid bukan dari pilkada. Sekali lagi, mohon prioritaskan pencegahan penyebaran Covid-19 pada pelaksanaan Pilkada,” kata Alfitra Salamm, di acara yang dilangsungkan di Gedung Nasional H Misran Rais, Bagansiapiapi.
Dikatakan Alfitra Salamm, beberapa minggu akan datang diprediksi akan terjadi ledakan Covid-19 di Indonesia, berdasarkan laporan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Penyebab bukan dari kluster Pilkada, tapi dari demontrasi penolakan UU Cipta Kerja yang terjadi beberapa hari belakangan ini.
“IDI sudah memberikan peringatan bahwa akan terjadi ledakan penyebaran Covid-19 dalam dua minggu mendatang yang disebabkan dari demo beberapa hari lalu. Ada penambahan corona virus antara empat ribu sampai lima ribu orang perharinya,” jelas Alfitra Salamm.
Jika perkembangan covid-19 terus bertambah, termasuk di Rohil, dikuatirkan akan mengganggu pelaksanaan dan tahapan Pilkada. Sebab itu, Alfitra beberapa kali menekankan perlunya dilakukan prioritas pencegahan penularan Covid-19 di Pilkada Rohil 2020.
“Sekali lagi prioritaskan pencegahan, karena sampai sekarang belum ada diskusi atau wacana penundaan pilkada. Belum ada organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah dan para cendikawan yang mengajukan petisi penundaan Pilkada,” urainya.
Disampaikan Alfitra Salamm, pada penyelengaraan pemilu selalu ada potensi pelanggaran administrasi, pidana dan etik, begitu juga pada Pemilu Kepala Daerah Rohil 2020.
Mengenai politik uang dalam pemilu, terang Alfitra Salamm, memang sulit dibuktikan. Namun, ditengah suasana wabah dan pandemi corona virus saat ini, dimana berdampak pada ekonomi masyarakat, dana kampanye yang seharusnya dipergunkan untuk kampanye massa dan lainnya tidak dipergunakan, berpotensi digunakan buat money politik.
“Waspadai politik uang. Dugaan akan digunakan pada minggu tenang. Covid-19 banyak masyarakat menggangur, sehingga butuh uang. Ini yang ditunggu-tunggu. Mereka yang menerima uang untuk mencoblos menganggap uang itu rezeki, tidak dapat ditolak disebabkan dipaksa, sebagai pengganti uang transport, atau sebagai pengganti uang gaji atau uang lembur disebabkan tidak bekerja pada hari pencoblosan itu,” kata Alfitra Salamm.
Berdasarkan penelitian, jelasnya, di Sumatera, 62 persen pemilih yang disuap uang memilih, dan 48 persen yang tidak memilih. Akan tetapi 62 persen itu tidak pula memilih berdasarkan pesanan, dan bisa memberikan suara pada yang lain.
Meski memaparkan berbagai celah kemungkinan terjadinya pelanggaran dalam penyelengaraan pilkada, Alfitra Salamm masih menekankan fungsi pencegahan dalam pengawasan Pilkada yang dilakukan Bawaslu. Jika pun menemukan pelanggaran sebisanya mengacu pada regulasi, dan harus ada posisi yang jelas sebelum menyampaikan ke Gakumdu.
‘Kalau posisinya jelas tapi ditolak Gakumdu ngak maslah. Yang penting posisinya jelas,” terang Alfitra Salamm.
Dijelaskan Alfitra Salamm, ada 270 petahana yang ikut serta di Pilkada 2020. Petahana yang dimaksud, bisa bupati, istri, anaknya, adiknya, kakek atau pamannya. Netralitas ASN juga perlu diingatkan, apalagi penyelengara pemilu tidak bisa mengontrol ASN dari dalam, dan tidak mungkin ASN melaporkan atasan atau rekannya.
“Yang terjadi adalah dukungn terselubung, terstruktur, sistimatik dan masif. Keberpihakan ASN juga susah dibuktikan. Pelung yang bisa dari komentar-komentar di media sosial. ASN bisa melaksankan gerakan bawah tanah. Mulau dari camat lurah, secara berstruktur mengunakan kekuasaan dan jabatan. Kalau nanti terpilih dijadikan jabatan ini. Netralitas ASN itu serengah hati, yang full netralitas itu TNI-Polri, sebab ASN itu masih memiliki hak memilih,” terang pria kelahiran Rengat, Indragiri Hulu (Inhu).
Menurutnya, siapa yang menguasai ASN, maka akan berpeluang sangat besar memenangkan pemilu. Jika satu keluarga ada yang ASN, maka istri, bapak, kakeknya, itu bisa ikut. Kemudian.Alfitra Salamm juga menginggatkan penyelengara pemilu untuk selalu memperhatikan etik.***
Penulis: amran