JAKARTA – Tim Advokasi untuk Demokrasi menduga serangkaian tindakan Kepolisian Republik indonesia yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia dalam menangani aksi unjuk rasa mahasiswa, pelajar, dan masyarakat yang menolak berbagai rancangan undang-undang.
Sebagai mana dikutip dari Gatra.com, di antara yang ditolak pendemo adalah RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, Undang-Undang KPK dan Undang Undang Sumber Daya Air maupun kebijakan pemerintah lainnya sejak 24 – 30 September 2019.
“Pelanggaran hukum dan hak asasi manusia oleh Kepolisian dilakukan dalam berbagai rupa yang dapat dibedakan menjadi 3 tahapan, sebelum aksi, selama aksi, dan pasca aksi unjuk rasa yang diikuti oleh ribuan warga negara dari berbagai elemen tersebut,” ujar Koordinator Penanganan Kasus LBH Jakarta, Afif Abdul Qoyim, saat konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, Jumat (4/10).
Afif juga menjelaskan, sebelum unjuk rasa dilakukan, diketahui bahwa Kepolisian menghalangi upaya mahasiswa yang datang ke Jakarta dengan menggunakan bus. Bahkan pada aksi tanggal 25 dan 30 September, polisi melakukan sweeping dan penangkapan tak berdasar hukum terhadap para pelajar sekolah yang hendak mengikuti aksi unjuk rasa di berbagai tempat.
“Sweeping di Stasiun kereta, ja|an raya, dalam kereta, terminal bis, dan lainnya. Para pelajar yang ditangkap kemudian dibawa ke kantor polisi terdekat, dibuat setengah telanjang, dan dijemur di tengah teriknya matahari, ini kan pelanggaran HAM,” katanya.
Lebih lanjut, Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar menuturkan kepolisian tidak seharusnya melakukan tindakan represif dan eksesif. Ia menjelaskan beberapa demonstran bahkan diburu dan ditangkap.
“Setelah membubarkan paksa tanpa alasan yang jelas, Kepolisian lanjut melakukan perburuan terhadap setiap orang yang mereka anggap pengunjuk rasa. Setiap orang yang dianggap pengunjuk rasa dikejar-kejar, bahkan sampai ke restoran cepat saji. Ketika ditangkap, orang-orang ini juga dianiaya tanpa alasan yang jelas sampai-sampai berada dalam keadaan yang mengenaskan,” paparnya.
Meski begitu, tim advokasi ini juga membuka pengaduan jika ada yang ingin mendapat bantuan hukum. Ia berharap agar masyarakat dapat memanfaatkan bantuan ini dengan baik.
“Tim Advokasi setidak-tidaknya menerima 390 aduan. Dari 390 aduan yang masuk, mayoritas melaporkan kasus yang dialami oleh mahasiswa sebanyak 201, disusul oleh pelajar sejumlah 50 orang, warga, 28 orang, pekerja Iepas, pedagang, ojek online, dan sisanya tidak menyertakan keterangan,” bebernya.
Atas kejadian tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi menuntut:
- Pemerintah (Presiden dan DPR) untuk mencabut undang-undang kontroversial yang membuat keresahan di masyarakat dan aksi massa besar-besaran serta merevisi rancangan undang-undang bermasalah yang belum disahkan;
- Lembaga Negara, seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, LPSK, Komnas Perempuan, KPAI, Kompolnas agar lebih proaktif berperan dan menjalankan tanggungjawabnya terhadap penanganan peristiwa ini;
- Polri agar melakukan proses evaluasi dan audit atas perilaku anggotanya di lapangan yang terbukti melakukan pelanggaran agar mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya secara etik maupun pidana atas penanganan aksi massa 23-30 September 2019.
Editor: Amran