oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Walaupun tidak dapat dijadikan rujukan penuh, akan tetapi sebahagian “kaum perempuan” di negeri ini menjadikan “bulan April” sebagai salah satu bulan yang penuh dengan aktifitas lantaran tanggal 21 April yang merupakan tanggal kelahiran “R.A Kartini” dinilai sebagai tonggak awal sejarah bangkitnya kaum perempuan dalam memperjuangkan hak mereka dalam lingkup pergaulan yang disebut sebagai “emansipasi”, atau dengan kata lain hak untuk mendapatkan persamaan derajat; baik dalam bidang pendidikan; pekerjaan; politik dan lain sebagainya. Lalu bagaimana ajaran Islam memandang persoalan kaum perempuan ini ?
Sejarah mencatat, bahwa di masa jahiliyah seorang perempuan nyaris tidak ada nilainya selain dari alat untuk dijadikan budak dan pemuas nafsu kaum laki-laki saja. Demikian tidak berharganya seorang perempuan, maka jika ada seorang anak perempuan yang lahir; terutama dari kalangan keluarga terkemuka; anak perempuan tersebut akan dikuburkan hidup-hidup atau tetap membiarkannya hidup dengan segala macam kehinaan yang akan ditanggung si anak menjelang dia dewasa. Hal ini tegas Allah sebutkan dalam Firman-Nya:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padam-lah) mukanya, dan dia sangat marah.// Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (Q.S.An-Nahl: 58-59)
Dalam situasi dan kondisi yang demikian itulah Islam datang membawa perubahan untuk menyelamatkan kaum perempuan; memberikan mereka hak yang sama dengan laki-laki dalam banyak hal; atau yang sekarang disebut dengan istilah “kesetaraan gender” atau “emansipasi”. Namun demikian masih saja ada suara-suara sumbang yang menyatakan, bahwa Islam masih merendahkan kedudukan perempuan dan belum sepenuhnya memberikan hak yang penuh kepada perempuan. Dan adapun alasan yang mereka jadikan acuan untuk hal itu adalah Firman Allah yang menyatakan:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan mereka (kaum laki-laki) atas sebahagian yang lain (kaum perempuan.” (Q.S.An-Nisaa’: 34)
Dan satu hal lagi yang mereka jadikan “hujjah” adalah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan, bahwa Rasulullah bersabda:
“Andaikata saya dapat meyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, maka akan saya suruh para perempuan bersujud kepada suaminya.” (HR.At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a)
Padahal dalil yang mereka kemukakan itu bukanlah untuk hal-hal yang bersifat umum dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sebab jika mereka mau meneliti dengan seksama akan “asbabun-nuzul” ataupun “asbabul-wurud” dari ayat dan hadis di atas, tentulah mereka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya tentang maksud dan tujuan dari ayat dan hadis tersebut.
Dan adapun yang berkaitan dengan asba-bun nuzul turunnya ayat 34 surah An-Nisaa’ tersebut. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al-Hasan r.a; “Bahwa pada suatu hari ada seorang perempuan Anshar yang mengadu kepada Rasulullah SAW tentang perlakuan suaminya yang kasar. Disebutkan bahwa perempuan tersebut ditampar hingga berbekas di wajahnya. Lalu Rasulullah SAW ingin menetapkan qishash bagi sang suami, akan tetapi beliau batalkan lantaran hampir pada saat yang sama Allah mewahyukan ayat 34 surat An-Nisaa’ tersebut kepada beliau. Bahwa di dalam lanjutan ayat 34 surah An-Nisaa’ tersebut Allah menerangkan tentang tata cara seorang suami mendidik isteri yang dikhawatirkan akan berlaku nusyuz atau durhaka (tidak menta’ati) suaminya. Dan cara itupun tidak harus dilakukan dengan semena-mena atau sesuka hatinya, melainkan harus secara bertahap mulai dari dinasehati; tidak digauli atau dicampuri (beberapa waktu lamanya) baru kemudian boleh dipukul. Dan jika masih saja durhaka, maka dapat ditempuh cara lain, misalnya dengan menceraikannya. Coba perhatikan seutuhnya (makna) ayat 34 surah An-Nisaa’ berikut ini:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka; adapun wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (durhaka)nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Begitu juga dalam kasus lain yang dianggap oleh orang-orang yang tidak memahami hukum Islam sebagai tindakan diskriminasi terhadap kaum Perempuan. Wallahua’lam (bersambung ke bagian 2)
Bagansiapiapi, 16 Rajab 1439 H / 2 April 2018.