JJAKARTA – Indonesia tidak ikut mengecam tindakan pemerintah China terhadap etnis Uighur beragama Islam di Xinjiang, seperti 22 negara lainnya.
Dikutip dari detiknews.com, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyebut Indonesia bukanlah negara yang kerap mengomentari tindakan negara lain.
“Yang ingin saya tekankan adalah pernyataan baik mendukung maupun mengecam, bukan bagian dari penyelesaian masalah,” sebut Plt Juru Bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, saat ditemui wartawan di Komplek Kementerian Luar Negeri, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2019).
Dalam kasus-kasus terkait hak asasi manusia (HAM) seperti Uighur ini, Faizasyah, menyebutkan Indonesia melakukan pendekatan secara bilateral. Pemerintah Indonesia telah menyuarakan pandangan masyarakat mengenai hal ini.
“Posisi kita selama ini dalam konteks pembahasan HAM atau resolusi, kita sangat tidak nyaman dengan sifatnya menuding suatu negara. Sama halnya masalah Uighur, kita sudah melakukan pendekatan bilateral, mengkomunikasikan pandangan Indonesia dan apa yang diharapkan masyarakat sudah kita sampaikan,” sambungnya.
Pendekatan ini juga yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus Rohingnya di Myanmar. Faizasyah mengingatkan, dengan pendekatan ini Indonesia berhasil menjadi satu-satunya negara yang mendapatkan akses dan kepercayaan dalam penanganan kasus ini.
“Contoh masalah di Rohingnya. Itu pendekatan bilateral dengan Myanmar. Kita satu-satunya negara dapat kemudahan untuk jadi pihak yang dipercaya bersikap netral dan menjadi bagian dari solusi,” imbuh Faizasyah.
Sebelumnya, sebanyak 22 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kompak mengecam perlakuan otoritas China terhadap warga minoritas muslim Uighur di Xianjing, China, dan kelompok minoritas lainnya di wilayah Xinjiang. Kecaman itu dituangkan dalam surat yang dikirimkan kepada para pejabat tinggi Dewan HAM PBB.
Pemerintah komunis Cina menyebut surat tersebut sebagai ‘fitnah’. Surat yang dirilis ke media pada Rabu (10/7/2019) waktu setempat itu, ditandatangani para Duta Besar (Dubes) untuk PBB dari 22 negara, termasuk Australia, Inggris, Kanada, Prancis, dan Jerman.
Surat itu dikirimkan kepada Presiden Dewan HAM PBB, Coly Seck dan Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet.
Editor : Amran