Mereka yang gemar makanan sea food tentu pernah merasakan gurihnya lobster.
Udang besar, yang rasanya mirip-mirip udang galah itu, saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, akademisi, pembudidaya, eksportir, serta mantan Menteri Susi Pudjiastuti.
Bukan disebabkan hewan di laut jernih itu langka, tapi disebabkan pro kontra rencana memperbolehkan eksport benih lobster.
Adalah Menterian Kelautan dan Perikanan RI Edhy Prabowo, yang menggulirkan rencana itu pada Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rakornas KKP) 2019 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, 3 Desember 2019.
Kebijakan Edhy memperbolehkan eksport benih lobster itu terasa aneh. Sebab, sebelumnya sudah ada larangan dari mantan Menteri KKP terdahulu, Susi Pudjiastuti.
Beleid larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster.
Susi melarang lobster dengan berat 200 gram ke bawah dan benih lobster untuk di eksport. Bahkan lobster yang ada telurnya termasuk di larang di beleid tersebut.
Wanita yang pengusaha dibidang perikanan laut itu, dan pemilik Susi Air tersebut, tau betul cadangan lobster Indonesia akan segera, bahkan terancam habis jika kran eksport benih lobster dibuka lebar tanpa filter.
Diperparah pula penangkapan lobster di habitat alami (di laut) tanpa kendali, dan tidak terkontrol, akan mempercepat merosotnya jumlah lobstet di alam.
Eksploitasi lobster di alam liar, dengan merusak terumbu karang, juga akan merembet pada kerusakan ekosistem laut.
Kekuatiran itu bisa menjadi kenyataan dan beralasan. Pertama disebabkan pembiakan lobster yang sulit di habitat alami, yang hanya 1 persen dari setiap indukan. Pada budidaya lobster, angka haran hidup anakkan lobster lebih tinggi, sekitar 4 persen.
Ke dua harga lobster yang mengiurkan. Di pasaran internasional harga lobster mencapai Rp50.000 sampai 110.000 per ekor. Bahkan Mentri Edhy, pada acara Makan Ikan Bersama di Area Parkir Gedung Mina Bahari, Jakarta, Kamis 21 November 2019, sempena memperingati Hari Ikan Nasional ke-6, menyebut harga baby lobster itu Rp139.000 per ekor.
Di tingkat nelayan harga lobster bervariasi, tergantung ukuran berat.
Di Kabupaten Rohil, Riau, setahu saya belum ada budidaya atau pembenihan lobster. Lobster yang ditangkap merupakan lobster yang tersangkut dijaring dan bubu. Dengar -dengar harganya hampir sama.
Di masyarakat nelayan di kawasan Batam, Rempang dan Galang (Belerang) Kota Batam, Kepri, harga lobster segar berkisar Rp30.000 ribu sampai Rp90.000 per ekor. Di sana, jika lobster besar sudah tersaji di atas meja restoran sea food harganya pun jadi berlipat.
Harga lobster yang mengiurkan dan bebas eksport itu yang menjadi kekuatiran terjadi eksplotasi penangkapan lobster, anakkan maupun indukkan di laut.
Sementara pelarangan lobster untuk diekspor tentu untuk melindungi populasi lobster liar, ekosistem dan tentunya harga pasar.
Tapi kenapa pula Mentri Edhy mau membuka pintu eksport bibit lobster?
Bisa saja disebabkan anakkan lobster hasil budidaya melonjak sehingga perlu dibuka kran eksport.
Namun, menurut penjelasan Edhy, dengan membuka eksport mendapat penghasilan negara. Rencana itu, kata Edhy, tidak pribadi, tapi mendapatkan devisa negara, rakyat dan banyak hal.
Penjelasan Edhy itu ada benarnya. Data 2018 menyebutkan sebanyak 2.532.006 ekor bibit lobster yang akan diseludupkan berhasil digagalkan, dengan perkiraan nilai Rp 463,4 miliar. (Kompas.com, 8 Maret 2019)
NTB juga penghasil lobster dan benih lobster. Dalam setahun, dihasilkan 78,5 ton lobster senilai Rp 55,25 miliar, serta Rp16 miliar nilai ekonomi penjualan benih lobster per tahun.
Lantas kemana lobster kita di eksport. Ternyata 80 persen lobster alam dan lobster budidaya di Vietnam, dari Indonesia.
Vietnam mendapatkan baby lobster asal Indonesia itu, melalui makelar perikanan di Singapura.
Padahal negara pulau itu bukan penghasil ikan dan lobster. Pengusaha perikanan Singapura mengimport lobster dari Indonesia, dan mengekspor lagi 80 persen lobster itu ke negara lain, termasuk ke Vietnam (detikfinance, 4 Desember 2019).
Pedagang ikan dan pemerintah Singapura memperoleh untung dari eksport lobster ke Vietnam itu.
Sewaktu di Kepri, saya pernah melihat langsung kapal ikan asing, berbendera Taiwan, memuat ikan kerapu (tiger fish) dan lobster hidup kedalam lambung kapal.
Lobster dan benih lobster itu dieksport hidup-hidup, didalam kapal mengunakan sirkulasi udara seperti di aquarium.
Mungkin kapal pengangkut seperti itu yang pengusaha eksportir kita tidak punya, sehingga mesti estafet dulu melalui pengusaha di Singapura.
Dari sini seharusnya pemerintah, Kementerian Kelautan dan Perikan, dapat melihat persoalan seputar lobster Indonesia.
Pertama, eksportir dalam negeri (bersama pemerintah tentunya) belum mampu mengekspor langsung lobster ke negara pemesan.
Kedua budidaya pembesaran lobster di Indonesia belum berkembang sebagai mana Vietnam.
Ketiga pemerintah bersama pengusaha lokal harus memunculkan pengusaha budidaya lobster agar produksi benih lobster dapat di tampung oleh pengusaha budidaya lobster lokal.
Keempat dengan berkembang usaha budidaya lobster tentu akan menyediakan lapangan kerja. Pekerja disektor perikanan, seperti kuli angkut, ekspedisi (pengiriman) managerial dan lainnya.
Kelima pemerintah akan mendapat berbagai pajak dan retribusi di sektor budidaya lobster. Mulai dari pajak penghasilan karyawan, sampai pada pajak eksport. Semakin banyak usaha budidaya lobster, maka akan semakin banyak pula pemasukan negara, dan lapangan kerja.
Lain menteri lain pula kebijakannya.
Sekarang terpulanglah kepada pemerintah, Menteri Edhy, mencabut Permen Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster tersebut atau hanya akan. ***
* Penulis adalah Pimred Sumatratimes.com / Wakil Ketua PWI Rohil