*Penulis: Amran S Sos
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, mungkin termasuk salah satu sosok ‘kontroversial’ di Indonesia, jelang akhir tahun 2019.
Betapa tidak. Mantan Bos GoJek itu, berencana menghapuskan pelaksanaan Ujian Nasional (UN), melalui Program Merdeka Belajar.
Nadiem menyampaikan rencana menghapus Ujian Nasional pada Rapat Koordinasi Bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jakarta, 11 Desember 2019. UN, kata Nadiem, akan ditiadakan pada 2021.
Kelulusan siswa kelas akhir di tingkat SMP, SMA, bahkan SD, diserahkan kepada sekolah.
Sekolah juga diberikan kewenangan melaksanakan pembelajaran. Pokoknya, sekolah, guru dan siswa, diberikan kemerdekaan (kebebasan) dalam Program Merdeka Belajar tersebut.
Saya pun teringat masa-masa beberapa bulan sebelum ujian akhir SMA. Waktu itu saya merasa sangat cemas, kalau-kalau tak lulus SMA. Sama cemasnya dengan ratusan teman satu sekolah, dan siswa di sekolah lainnya.
Kecemasan kami bukan pada Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), yang sekarang ini sama dengan Ujian Nasional berbasis Kertas dan pinsil (UNKP). Tapi pada evaluasi belajar tahap akhir (Ebta).
Sebab, Ebtanas waktu itu belum menjadi penentu kelulusan sekolah. Status Ebtanas wajib ikut. Tapi yang menentukan tetap hasil ujian akhir sekolah, yang bernama Ebta. Itu sama seperti UN, yang beberap tahun belakangan ini juga tidak lagi menentukan kelulusan, sejak 2015 kemarin.
Disebabkan belum ada standar nilai, dan tidak menentukan kelulusan, peserta Ebtanas ada yang serius, ada yang setengah serius, dan ada juga yang benar-benar serius menghadapinya.
Saat masuk perguruan tinggi, waktu itu disebut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), hasil Ebtanas juga tidak jadi pertimbangan, meski dilampirkan saat mendaftar UMPTN.
Namun, pada 2003, ujian akhir sekolah mulai menjadi momok mengerikan bagi siswa kelas akhir sekolah menengah sederajat dengan diberlakukan standar nilai kelulusan Ebtanas, dan Ujian Nasional.
Standar nilai kelurusan Ebtanas dan Ujian Nasional sempat turun naik. Terakhir, pada UN 2014, standar nilai UN itu 4,0 sampai 5,5. Pada 2015, standar nilai UN, yang berlangsung selama 12 tahun, ditiadakan. Hasil UN juga tidak lagi menentukan. Kelulusan diserahkan ke sekolah. Seperti sebelum Ebtanas tahun 2003.
Penyebabnya pelik. Seperti benang kusut. Dari persolan belum meratanya pendidikan, tenaga pendidik, sampai pada soal yang bocor, jaringan internet, kemampuan siswa yang tidak merata dan banyak lagi. Ribet.
Biaya melaksanakan Ujian Nasional mencapai ratusan miliar tiap tahun. Belum lagi triliunan biaya lain-lain buat pelaksanaan UN, seperti pengadaan komputer, peralatan internet dan sebagainya.
Sebagai pertandingan, pada 2015, biaya penyelenggaraan UN sekitar Rp560 miliar, pada 2016 jadi Rp540 miliar, pada tahun 2017 turun jadi Rp490 miliar (hai.grid.id, 18 Maret 2019), dan pada 2019 turun lagi menjadi Rp210 miliar (tirto.id, 21 Maret 2019).
Penurunan biaya pelaksanaan UN pada 2019 disebabkan 91 persen sekolah dikatakan sudah melaksanakan UN berbasis komputer. Sehingga biaya pelaksanaan UN pada lima tahun belakangan ini menurun.
Biaya pelaksanaan UN ratusan milyar itu diperuntukan, mulai dari pembiayaan pembentukan panitia ujian dari pusat sampai ke daerah dan UPT Disdik, persiapan, perencanaan, pendataan, pembuatan soal, pendistribusian, pemeriksaan, pengamanan lembaran soal, dan entah apa lagi.
Tapi pembiayaan ratusan miliaran ujian nasional, serta perubahan dari sistim Ujian Nasional berbasis kertas dan pinsil ke Ujian Nasional Berbasis Komputer, ternyata tak mengurangi persoalan diseputar pelaksanaannya.
Soal ujian nasional tetap sering bocor, dan hilang jelang ujian. Padahal sudah disegel dengan tulisan berhuruf besar berwarna merah: ‘Rahasia Negara’, dan ada sangsi pula pada si pembocor soal UN.
Saya pernah melihat guru-guru mengisi lembaran jawaban, sampul yang berubah warnanya, dan plastik yang tidak lagi ada tulisan “Rahasia Negara”.
Begitu juga pada UN berbasis komputer ternyata tidak menyebabkan soal ujian semakin aman. Masalah listrik dan jaringan internet menjadi celah-celah bocornya soal.
Kalau dirunut, dan diurai, maka permasalahan ujian nasional terlihat bukan persoalan pendanaan dan sistim, tapi disebabkan tidak ada kesamaan visi dari lembaga pelaksana UN, seperti sekolah dan dinas pendidikan, serta lembaga lainnya.
Pada akhirnya urgensi pelaksanaan UN dan standarisasi tak menemukan bentuk dan tujuan. Tujuan ujian nasional meningkatkan kompetensi dan daya saing kelulusan siswa, daya saing sekolah dan pendidik, menjadi tiada.
Yang ada mengejar prestise daerah, dan sekolah. Jadi buat apa lagi ada Ujian Nasional.
Ataukah di era milenial ini UN memang seharusnya tiada?. ***
* Penulis adalah Pimpinan Redaksi Sumatratimes.Com