Reformasi pada 1998 memberikan banyak perubahan pada sistim politik Indonesia.
Diantara perubahan itu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang semula melalui mekanisme pemilihan di MPR/DPR, berubah melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu).
Begitu juga dengan pejabat Gubernur, Bupati dan walikota, tidak lagi dipilih melalui mekanisme penunjukan langsung oleh Presiden, dan gubernur.
Perubahan lain peranan ABRI, dengan Dwi Fungsi-nya ditiadakan. Selain itu, parpol peserta pemilu, yang di zaman Orde Baru hanya diikuti tiga parpol, di era reformasi menjadi multi partai. Dominasi Golkar, yang waktu Orde Baru enggan disebut partai, tak lagi dominan, pengatuhnya semakin berkurang.
Dan pada tanggal 7 Juni 1999, atau 20 tahun yang lalu, untuk pertama kali, Indonesia menyelengarakan Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu pertama di era reformasi pada jaman Presiden BJ Habibie itu hanya memilih anggota legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPRD Tingkat I (Provinsi), dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota), dan merupakan pemilu multi partai yang diikuti 48 partai politik (parpol).
Sementara pemilihan presiden dan wapres masih sistim perwakilan, dipilih secara voting oleh anggota legislatif hasil Pemilu 1999. Pemilihan presiden dan wapres secara langsung oleh rakyat baru dilaksanakan pada Pemilu 2004.
Pelaksanaan Pemilu 1999, dan Pemilu 2004 dibayangi dengan kekuatiran adanya gejolak. Kekuatiran itu dapat dimaklumi, sebab rezim Soeharto, berkuasa lebih dari 30 tahun, dengan pola pemerintahan militerisme dan sentralistik, tentu masih memiliki pendukung yang banyak.
Setelah 20 tahun, sejak Pemilu 1999, saya pun mencoba mengingat-ingat kembali sudah berapa kali ikut mencoblos. Sebagai warga negara, saya patut bersyukur, meski menjalani hidup secara nomaden, hak pilih saya sebagai warga negara tidak pernah hilang.
Saya pernah mencoblos pada Pemilu 1999, Pemilu Presiden/Wakil Presiden, dan legislatif tahun 2004, dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPD dan legislatif tahun 2009 (di Kepulauan Riau), serta Pemilu 2014 dan 2019 (di Provinsi Riau).
Pemillihan Gubernur dan Wagub Kepri tahun 2005 dan 2010, Pilgub dan Wagub Riau putaran pertama 4 September 2013, putaran kedua 27 November 2013, dan Pilgubri 2019, Pilkwako Tanjungpinang tahun 2007, Pilwako Batam tahun 2012, serta Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Rohil tahun 2015.
Surat suara pada Pemilu 1999, masih berukuran jumbo. Dengan partai peserta pemilu mencapai 48 parpol, maka lebar surat suara legislatif hampir sebentangan tanggan. Bilik suara tak cukup luas menampung lebarnya surat suara.
Usai surat suara di coblos, banyak pemilih kebingunggan melipat kembali surat suara. Lebarnya surat suara juga menjadi sebab banyak surat suara tidak masuk hitungan, koyak saat membuka dan melipat, salah coblos, dan lain-lain.
Empat tahun kemudian, pada Pemilu 2004 buat pertama kali pula jutaan rakyat Indonesia, termasuk saya ikut memilih Presden dan Wakil Presiden, yang bersamaan dengan pemilihan legislatif. Pelaksanaannya juga sukses, ditengah euforia kebebasan memilih, berserikat, dan tentu saja semangat reformasi, yang menjadi penyemangat pelaksanaan pemilu.
Dari masa ke masa penyelengaraan pemilu di era reformasi terus mengalami penyempurnaan. Semula calon legislatif terpilih dipilih berdasarkan nomor urut calon. Calon yang namanya berada paling atas lebih berpeluang terpilih, meskipun calon yang berada diurutan nomor di bawahnya memperoleh suara terbanyak.
Sistim berdasarkan nomor urut itu banyak menuai kritikan, dinilai tidak mencerminkan kehendak rakyat. Sitim nomor urut ditiadakan, dan digantikan dengan peraih suara terbanyak yang berhak duduk di lembaga legislatif.
Pemilu dengsn semangat reformasi itu memang terasa pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Setelahnya, pemilu terasa ‘hambar’. Kepentingan individu, kelompok dan partai lebih kental terasa, terutama di daerah.
Kondisi ini semakin diperparah dengan partai-partai politik yang saat ini banyak menganut paham politik dinasti, yang menjadikan keluarga sebagai kelanjutan partai politik. Ada beberapa partai yang menganut sistim politik dinasti, seperti PDI Perjuangan, PAN, PKB, Demokrat, dan Golkar.
Sehingga tak heran istri, anak, hingga kerabat kepala daerah, mantan anggota DPR, dan petinggi partai politik lolos menjadi anggota DPR periode 2019-2024 (tempo.co, 17 2019).
Tidak saja untuk tingkat pusat, sistim dinasti politik juga sampai ke daerah. Contoh politik dinasti pada kasus mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Akan tetapi politik dinasti memiliki sisi negarif dan sisi positif.
Sisi positifnya, politik dinasti berawal dari keluarga yang memiliki arah paham politik yang jelas. Contoh dinasti politik Soekarno. Dinasti politik Sekarno memiliki paham nasionalis yang jelas. (tribunnews.com/ 23 Juni 2013).
Merebaknya sistem politik dinasti ke daerah-daerah, juga menimbulkan efek negatif dan persoalan baru. Sistem politik dinasti di daerah menjadikan sistim politik terbuka, menjadi tertutup dan tidak memberikan kesempatan bagi orang baru. (komentar Qodari, Peneliti Indo Barometer, tribunnews.com/ 23 Juni 2013).
Namun, ditengah politik dinasti itu, pemerintah terus menyempurnakan sistim dan penyelengaraan pemilu. Dari yang semula tidak disertai foto caleg, kini disertai dengan foto, agar pemilih mengenal wajah calon legislatif yang akan dicoblos.
Caleg terpilih juga tidak lagi berdasarkan nomor urut, tapi berdasarkan perolehan suara terbanyak. Caleg dengan suara terbanyak dipilih rakyat yang layak menjadi wakil rakyat.
Pada Pemilu 1999, data pemilih tidak banyak menjadi persoalan. Saya juga ingat Ketua RT di tempat saya kos di sekitar PT SatNusa Batam, dengan semangat mendata penghuni kos-kosan untuk dimasukkan sebagai calon pemilih.
Persoalan data pemilih mulai muncul pada 2004. Para Ketua RT banyak yang tidak semangat lagi mendata, disebabkan pemilih yang tidak terdata ikut mencoblos. KPU mengantisipasi kecolongan itu dengan menerbitkan kartu pemilih berwarna biru, mirip-mirip KTP-e. Tapi dengan ukuran lebih kecil dan tipis.
Penggunaan kartu pemilih itu ternyata tidak memberikan perubahan kepada partisipasi, dan jumlah pemilih. Kini kepemilikan kartu pemilih itu tidak berlaku, berganti dengan surat pemberitahuan pencoblosan dari KPPS setempat.
Partai politik peserta pemilu kini berkurang. Dari 48 parpol pada Pemilu 1999, menjadi 14 parpol nasional pada Pemilu 2019, plus 4 partai daerah khusus Aceh.
Penurunan parpol peserta pemilu tidak terlepas dari sambutan yang diberikan masyarakat pemilih, dan penetapan amang batas. Partai yang tidak mendapat kursi dan tidak memenuhi ambang batas tersebut menjadi partai yang tereliminasi.
Surat suara Pemilu 1999 yang selebar bentangan tanggan, kini semakin mengecil, meskipun masih lebih lebar dari bilik suara.
Pengiriman data hasil rekapitulasi penghitungan surat suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) kini sudah dapat dilakukan secara online, seperti melalui aplikasi Siwaslu 2019.
Pemerintah bersama KPU memikirkan penyelenggaraan pemilu yang dapat memangkas waktu dan tentunya hemat biaya. Pemerintah bersama KPU mengembangkan sistim pemungutan suara secara elektronik, atau e-vote. Pemungutan suara secara e-vote memungkinkan dilakukan disebabkan data kependudukan kini disimpan secara elektronik, dan terintegrasi dengan berbagai lembaga negara.
Jika e-vote diterapkan, maka Pemilu tidak lagi berbasis paku, bantal, pena dan kertas.
Melihat perkembangan Pemilu di era reformasi, penyelengaraan pemilu lebih demokratis, transparan, luber, serta semakin jujur dan adil, dibandingkan penyelengaraan pemilu di era orde baru. Ditambah lagi dengan keberadaan Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggara Pemilu. Keberadaan DKPP diharapkan dapat menjadikan penyelengara pemilu di Indonesia menjadi lebih beretika, dan lebih peka terhadap sengketa pemilu. ***
*Penulis adalah Pengurus PWI Rohil dan bermastautin di Bagansiapiapi